Selasa, 17 Maret 2009

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN

Artikel 1
Judul:

Pembiayaan Pendidikan Fokus Kebijakan 100 Hari

Jakarta, Kompas - Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo akan lebih fokus kepada sistem pembiayaan pendidikan dalam kebijakannya. Ia percaya bahwa sistem pembiayaan dengan mekanisme subsidi silang akan berwatak sosial karena masyarakat yang mampu secara finansial akan menyubsidi mereka yang kesulitan secara ekonomi. Sekolah unggulan negeri secara bertahap juga didorong untuk mandiri dan tidak bergantung pada pemerintah.

Untuk pengaturan sementara, akan ada keputusan presiden sebagai bagian dari rencana kerja 100 hari. Jika hasilnya baik, dalam jangka panjang dapat ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah, bahkan perundang-undangan.

"Saya memerhatikan secara serius soal sistem pembiayaan pendidikan dan juga peningkatan mutu. Sebagai dasar, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sudah diamanatkan anggaran pendidikan 20 persen. Tetapi, itu baru kerangka besar dan perlu dijabarkan alokasinya menurut jalur, jenis pendidikan, dan hal lain yang lebih rinci," ujar Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo seusai halalbihalal dengan pegawai Departemen Pendidikan Nasional, Selasa (23/11).

Selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terdapat pula sumber dana dari masyarakat. Baik yang dipungut lembaga pendidikan dari peserta didik maupun hasil jerih payah lembaga tersebut. Penggunaan dana pendidikan dari negara atau masyarakat itu perlu ada aturan memungut, menyimpan, menggunakan, serta mempertanggungjawabkannya.

Pembiayaan pendidikan, menurut dia, harus berwatak sosial, seperti sistem subsidi silang untuk dana yang bersumber dari masyarakat.

Peserta didik dari daerah tertinggal atau miskin diupayakan tetap memiliki akses ke sekolah yang baik atau unggulan dengan sistem subsidi silang. Dengan demikian, sekolah bagus tidak hanya dihuni oleh mereka yang mampu secara ekonomi atau dari kota. Pemerintah akan mendorong setiap kabupaten memiliki sekolah unggulan yang kompetitif.

"Akan dibuka pengaturan subsidi silang, misalnya melalui beasiswa, agar yang tidak mampu tetapi pintar dari berbagai daerah dapat ikut bersaing," ujarnya.

Sekolah unggulan

Ke depan, sekolah unggulan baik negeri atau swasta juga didorong untuk mandiri dalam pembiayaan. Fasilitas pemerintah akan dibatasi. APBN serta APBD dikonsentrasikan untuk pembiayaan sekolah yang berstandar kualitas nasional dan dapat diakses siapa saja.

"Yang namanya pembiayaan pendidikan didasarkan pada tingkat mutu tertentu. Besaran anggaran pendidikan diasumsikan pada tingkat mutu tertentu pula secara nasional. Kemudian dihitung berapa anggaran yang bersumber dari APBN, APBD, dan masyarakat," ujar Bambang.

Jika ada komponen masyarakat yang menginginkan kualitas pendidikan lebih dari standar nasional, konsekuensinya biaya ditanggung sendiri.

Mereka yang mampu menyelenggarakan pendidikan lebih dari yang ditawarkan pemerintah tidak akan dihalangi pula.

Bahkan, pemerintah daerah yang berkeinginan mendirikan bibit sekolah unggulan dipersilakan. Akan tetapi, setelah lembaga itu menjadi sekolah unggulan, kucuran APBN dan APBD akan dibatasi karena dianggap telah mampu membiayai dirinya secara mandiri.

"Semakin banyak sekolah seperti itu semakin baik karena pendidikan akan dibiayai dan digerakkan oleh tenaga dan masyarakat sendiri," katanya.

Dalam jangka panjang, pemerintah mendorong agar sekolah kompetitif tersebut semakin banyak dan mandiri.

Sekolah-sekolah unggulan atau kompetitif tersebut terbuka peluang mengembangkan diri dari dana yang ditarik dari masyarakat. Dengan demikian, standarnya bisa saja di atas standar kompetensi nasional atau minimal sejajar.

Mereka yang tidak mampu dapat mengakses sekolah tersebut juga melalui subsidi silang dengan beasiswa tadi.

Sinkronkan RPP

Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal Depdiknas Baedhowi mengatakan, sistem pembiayaan pendidikan yang tengah digagas oleh Mendiknas tidak akan tumpang tindih dengan konsep yang tertuang pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan yang sudah telanjur disiapkan drafnya oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas.

"Kami akan senantiasa menyinkronkan kedua konsep tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih," katanya.

Namun, Baedhowi mengakui, sinkronisasi atau penyelarasan tersebut butuh proses waktu yang belum tentu bisa dituntaskan dalam masa 100 hari kerja kabinet yang baru ini.

Sesuai Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, RPP yang merupakan turunannya pun menggariskan bahwa sumber pembiayaan pendidikan berasal dari pemerintah dan masyarakat. "Saya kira pengelolaan anggaran pendidikan yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip pembiayaan berwatak sosial atau subsidi silang," katanya.

Kebijakan darurat

Secara terpisah, pengamat pendidikan Winarno Surakhmad mengungkapkan, rencana kebijakan tersebut cenderung darurat dan taktis. "Karena kebetulan saja ada orang kaya yang diharapkan membayari orang miskin," katanya.

Sistem pembiayaan pendidikan seharusnya berangkat dari pandangan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, kaya maupun miskin.

Seharusnya yang dipikirkan pemerintah bukan soal mengatur subsidi silang, melainkan bagaimana pemerintah menjalankan kewajibannya memenuhi hak warga atas pendidikan. Kebijakan itu mengesankan pemerintah tidak mampu memenuhi hak warganya.

Selain itu, dalam jangka panjang dapat muncul hambatan psikologis. Akan muncul kesenjangan sosial karena anggapan bahwa tanpa subsidi mereka yang tidak mampu tidak dapat menempuh pendidikan.

Pemerintah seharusnya memberikan perasaan nyaman dan aman kepada warganya, termasuk dengan memberikan jaminan akses pendidikan.

Terlebih lagi jika di dalam masyarakat telah ada kesadaran dan gerakan moral untuk membantu pendidikan mereka yang berkekurangan.

Winarno juga tidak sepenuhnya setuju dengan sekolah unggulan karena terkadang hanya merupakan cap yang ditempelkan dengan melihat kelebihan fasilitas atau input unggul.

"Justru sebuah sekolah dinilai unggul karena memiliki guru yang baik dan mampu menciptakan anak-anak unggul dengan fasilitas terbatas," katanya.


Artikel 2

Judul:BPR, Alternatif Pembiayaan Pendidikan
BANDUNG, KOMPAS--Menjelang tahun ajaran baru, kebutuhan biaya pendidikan sangat tinggi, namun masih sedikit masyarakat yang memanfaatkan bank perkreditan rakyat atau BPR untuk memeroleh dana tunai. Padahal, BPR memberikan kemudahan syarat yang tidak bisa ditawarkan bank umum maupun lembaga keuangan lainnya. Menurut Pengawas Bank Eksekutif Senior Kantor Bank Indonesia (KBI) Bandung Nina K Aziz, Kamis (6/7), masih sangat sedikit BPR di wilayah Jawa Barat dan Bandung yang memberikan fasilitas biaya pendidikan kepada nasabahnya. Selain itu, KBI Bandung juga belum memiliki data yang akurat tentang BPR yang menyalurkan kreditnya untuk pembiayaan pendidikan. Padahal, BPR merupakan salah satu alternatif lembaga keuangan yang bisa dituju masyarakat mendapatkan dana untuk kebutuhan pendidikan. Peluangnya masih terbuka lebar, meskipun bank-bank umum sudah banyak yang menawarkan kredit pendidikan. Sebab, umumnya pengajuan kredit BPR tidak memerlukan syarat yang susah dan teknis, seperti yang disyaratkan oleh bank umum.”Namun, kita belum pernah memonitor kredit untuk pendidikan secara keseluruhan. Baru ada satu BPR di Bandung yang sudah memberikan kredit pendidikan bagi guru dan sekolah, yaitu Ratna Artha,” kata Nina. Sebelumnya, dalam Seminar Optimalisasi Pembiayaan BPR pada Sektor Pertanian dan Pendidikan, di KBI Bandung, Direktur BPR MMA Teguh Sumaryono juga mengatakan peluang pembiayaan kredit pendidikan sangat besar. Sayangnya, belum banyak BPR yang berani mengambil risiko untuk memberikan fasilitas kredit pendidikan.
Padahal, makin banyak bermunculan sekolah-sekolah favorit dengan biaya masuk yang relatif mahal yang diincar masyarakat, sehingga dibutuhkan dana yang cukup. Demikian pula dengan makin banyaknya masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, serta jalur-jalur khusus yang ditawarkan perguruan tinggi negeri dengan biaya yang tinggi. ”Tahun 2004 jumlah nasabahnya 111 orang dengan total penyaluran kredit sebesar Rp 545 juta, sedangkan tahun 2006 meningkat menjadi 235 nasabah dengan total penyaluran kredit pendidikan sebesar Rp 1,12 miliar. Tingkat kredit macetnya juga sangat kecil, hanya 0,92 persen dibandingkan kredit macet total kredit sebesar 5,05 persen,” kata Teguh.

Peneliti Utama Senior Pusat Pendidikan dan Studi Kebansentralan Bank Indonesia Irman Djaja Dalimi mengatakan, kredit pendidikan tidak hanya terpaku untuk membiayai masuk sekolah calon murid/mahasiswa, tetapi juga bisa digunakan untuk penyediaan dana operasional sekolah, maupun bagi guru dan karyawan di sebuah lembaga pendidikan.

Menurut dia, dengan keterlibatan lembaga pendidikan, atau secara kolektif, pembayaran angsuran kredit bisa dilakukan secara langsung, yaitu dengan memotong gaji nasabah yang dilakukan pihak bendahara sekolah.


Artikel 3

Judul:Diknas Benahi Sistem Pembiayaan Pendidikan

JAKARTA - Mendiknas Bambang Sudibyo mengemukakan, dalam jangka pendek pihaknya akan memprioritaskan pembenahan sistem pembiayaan dan peningkatan mutu pendidikan. ''Terkait dengan program 100 hari di bidang pendidikan, dalam jangka pendek kami akan memberikan prioritas pada pembenahan sistem pembiayaan pendidikan 20% dari anggaran belanja pusat dan daerah,'' ungkapnya kepada pers seusai halalbihalal di lingkungan Depdiknas, Selasa kemarin.

Dia mengatakan, pembiayaan pendidikan 20% memang seharusnya dipenuhi dari anggaran belanja dan bukan dari anggaran pendapatan. Selanjutnya, yang perlu dilakukan adalah menjabarkan anggaran pendidikan 20% tersebut sesuai dengan jalurnya.

Menurut pandangannya, sistem pembiayaan pendidikan harus ditata penggunaannya karena selain dana dari APBN/APBD, dana pendidikan bisa juga dipungut dari masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan. ''Dana yang bersumber dari APBN dan masyarakat, semua harus ada aturan bagaimana memungutnya, bagaimana menggunakan, kemudian bagaimana mempertangungjawabkannya.''

Dia menuturkan, pengaturan tentang pengelolaan pembiayaan pendidikan agar memiliki dasar hukum yang kuat perlu diatur setingkat peraturan pemerintah (PP) namun sebelum menjadi PP harus menjadi keputusan presiden dulu. ''Kalau ternyata bagus, stabil, dan bisa melayani masyarakat dengan baik, pengaturan sistem pembiayaan pendidikan bisa menjadi UU,'' ujarnya.

Mutu Pendidikan

Bambang mengungkapkan, mutu pendidikan bisa diukur dengan bermacam variabel, seperti kurikulum, silabus, metode pengajaran, dan standar kompetensi. ''Semua harus dikerjakan satu per satu dan tidak boleh tergesa-gesa. Kalau bisa kita temukan modelnya, bisa diperkuat status hukumnya dalam sebuah peraturan pemerintah,'' tuturnya.

Dia menyebutkan, antara pembiayaan dan mutu pendidikan saling terkait. ''Pembiayaan itu mesti didasarkan pada tingkat mutu tertentu, misalnya di Malaysia, biaya pokok untuk pendidikan tinggi Rp 18 juta per mahasiswa. Hal itu mengasumsikan tingkat mutu pendidikan di Malaysia seperti itu.''

Bila ingin kualitas pendidikan tinggi di Indonesia sama seperti di Malaysia, maka perlu dihitung berapa yang bersumber dari APBN, APBD, dan dana masyarakat serta memasukkan metode subsidi silang.

Mengenai akses pendidikan bagi masyarakat tidak mampu, Bambang menekankan, pembiayaan pendidikan oleh masyarakat bersifat sosial. ''Jangan sampai yang miskin dan pintar itu tidak bisa menikmati pendidikan terutama untuk program wajib belajar (wajar) karena mereka banyak yang tidak mampu,'' harapnya.

Pemerintah akan berupaya supaya daerah terbelakang mempunyai akses yang sama baik dengan daerah maju. ''Pemerintah akan mencari cara bagi peserta didik yang berasal dari Papua, punya akses ke sekolah yang baik di Pulau Jawa misalnya,'' katanya.

Pemerintah, sambungnya, berupaya agar sekolah favorit tidak hanya diisi oleh orang mampu di kota-kota saja. ''Kami cari sistemnya. Kami akan dorong setiap kabupaten mempunyai sekolah unggulan yang memang menjadi jagoannya.''

Dia mengakui, memang sulit membuat standar yang sama antara satu daerah dan daerah lain di Indonesia. ''Tidak mungkin semua bisa disamakan. Akan tetapi yang penting, bagaimana kita mengangkat standar mutu pendidikan dengan konsentrasi utama pada APBN/APBD,'' tandasnya.


Artikel 4
Judul:Apa Yang Salah Dalam Dunia Pendidikan Kita???

Hari Jumat tanggal 5 September yl, PATTIRO mengadakan diskusi serial mengenai ’Akuntabilitas Anggaran Pendidikan’ yang merupakan bagian dari serial diskusi program Brooking. Dihadiri pemerhati pendidikan beserta pembiayaannya, Abas Ghazali, Utomo Dananjaya, dan Ade Irawan, juga dari berbagai NGO pemerhati pendidikan plus peneliti PATTIRO program Brooking (Chitra, Ilham).

Dr Abas Ghazali memaparkan pola pembiayaan pendidikan hasil penelitiannya tahun 2004 (terlampir), kemudian Ade Irawan memaparkan Anggaran pendidikan mau dibawa kemana? (terlampir) Serta Chitra Hariyadi memaparkan tentang hasil temuan penelitian PATTIRO ( terlampir) mengenai akuntabilitas sistem dana pendidikan dalam desentralisasi, memastikan pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik dalam skema pembiayaan pendidikan.

Penelitian PATTIRO menggunakan metoda PETS (Public Expenditure Tracking Survey), di kota Serang dan Gresik, dari penelitian sekitar 137 sekolah dari 7 skema yang diteliti yakni DAK, Block Grant, BOS, BOS Buku, BOS Pendamping, Rehab APBD serta dana Dekon. Memperlihatkan bahwa skema2 pusat lebih efektif, yakni dana BOS serta DAK. Sementara dana-dana yang berasal dari daerah mengalami banyak kebocoran.

Beberapa hal yang ditemui di lapangan dari penelusuran tersebut ditemukan pola belanja dimana mandat skema yangyang diterima sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan utama, keterlambatan pencairan, potongan yang tidak wajar, penyimpangan cara penyaluran dibanding aturan, Belanja dilakukan tidak sesuai dengan peruntukan, pengurangan hasil/kualitas yang dibanding dengan harga dan rencana semula.

Rekomendasi berkisar di pemerintah pusat agar menyederhanakan jenis skema anggaran ke sekolah yang bertumpu pada rutin serta operasional dan memastikan keberlanjutannya melalui aturan yang kuat. Perbaikan mekanisme dan kepastian waktu penyaluran serta Pembuatan aturan dari pusat untuk mekanisme laporan standar.

Sementara untuk pemerintah daerah adalah mendorong partisipasi multistakeholder, legislatf, komite sekolah untuk mengawasi, juga mendorong pemberdayaan manajemen keuangan sekolah dan pelaporan yang baik. Serta yang utama membuat aturan yang memungkinkan dana didesakkan sesuai yang dibutuhkan oleh masyarakat dan sesuai tujuan yang telah utama alokasi dana tersebut.

Diskusi menghangat pada efektifitas belanja pendidikan serta PP 48/2008 yang masih membolehkan sekolah memungut dana siswa, juga mengenai pembagian kewenangan pusat, propinsi dan daerah yang sering tumpang tindih dalam hal pembiayaan pendidikan.


Artikel 5

Judul:Pemerataan Pendidikan

Kita patut bersyukur jika pendidikan dasar sembilan tahun dapat diakses gratis seluruh masyarakat seperti dinyatakan Sekretaris Jenderal Depdiknas (Kompas, 21/2/2009).

Pemerataan pendidikan menjadi salah satu cita-cita bangsa. Berbagai undang-undang disahkan dan dana dialokasikan untuk cita-cita itu. Namun, berbagai pernyataan jaminan negara atas pendidikan itu tak lebih retorika.

Menguatnya komitmen pemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum diimbangi langkah nyata meningkatkan pemerataan akses dan mutu yang bebas dari tekanan dan basa-basi politik. Dalam praktek, perwujudan pemerataan pendidikan tidak hanya memerlukan undang-undang dan dana. Apa permasalahan pemerataan pendidikan sekarang?

Miskonsepsi

Hambatan utama pemerataan justru pada konsep ”gratis” yang menggerus kemandirian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dan melambungkan harapan rakyat tentang jaminan negara. Faktanya, hingga 63 tahun kemerdekaan, negara belum pernah mampu (dan bersedia) menanggung cuma-cuma seluruh biaya pendidikan rakyat.

Masalahnya bukan hanya sejauh mana pendidikan benar-benar ”gratis” atau bagaimana mengatasi aneka masalah teknis penyaluran dana bantuan operasional, tetapi konsep pendidikan gratis telah mencuri prinsip kemandirian warga sebagai inti kemerdekaan politik dan mengalihkannya kepada ”niat baik” para pemegang amanat rakyat.

Sayang, tidak selamanya pemegang amanat rakyat melaksanakan ketentuan pembiayaan pendidikan. Misalnya, UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menyatakan, pemerintah pusat dan daerah menanggung seluruh biaya pendidikan SD-SMP (Pasal 41 ayat 1). Tetapi Mendiknas bersikeras pemerintah hanya menanggung biaya operasional (Kompas, 24/2/2009).

Artinya, saat warga terbuai mimpi pendidikan tanpa biaya, pewujudannya kian jauh dari jangkauan kekuatan mereka. Harapan telanjur digantungkan pada elite negara yang selalu menegaskan jaminan perundang-undangan atas pendidikan rakyat. Tetapi kita tahu, elite negara sebagai politikus bertindak berdasar naluri kepentingan, bukan keberpihakan substansial.

Dengan kata lain, meski pemerataan pendidikan adalah kebijakan negara, implementasinya amat tergantung kebijaksanaan penguasa berdasar kepentingan politik mereka. Dalam konteks itu, konsep ”gratis” telah memasung dan mematikan inisiatif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sejak dulu, sebelum negara ini ada.

Pemerintah daerah

Di sisi lain, pemerataan pendidikan terhambat kesadaran rendah para pemimpin daerah. Otonomi melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah.

UU BHP, misalnya, memberi kewenangan pemerintah daerah mengatur penyelenggaraan SD, SMP, dan SLTA (Pasal 21). Konsekeunsinya, tanggung jawab pembiayaan yang besar juga harus dipikul pemerintah daerah.

Dalam konteks SD-SMP seperti diatur Pasal 41, masih harus ditegaskan berapa yang harus ditanggung pemerintah pusat (60 persen) dan 40 persen pemerintah daerah. Yang jelas, pemerintah daerah juga diwajibkan menanggung minimal 1/3 biaya operasional SLTA.

Itu semua adalah ketentuan di atas kertas. Prakteknya, pewujudan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan pendidikan amat tergantung komitmen dan niat pemimpin setempat. Warga Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana dan Kota Yogyakarta, beruntung karena pemimpin mereka berusaha keras memenuhi tanggung jawab pembiayaan pendidikan.

Namun di berbagai tempat lain, ketentuan dan janji pembiayaan pendidikan justru membuat warga kecewa. Di Papua misalnya, gedung sekolah yang dibangun atas dana pemerintah pusat, selama enam bulan setelah diresmikan masih kosong tanpa kegiatan belajar-mengajar. Menurut pejabat setempat, itu karena pemerintah pusat hanya menyediakan gedung, meja-kursi, dan tidak membayar gaji guru, yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah.

Menyesatkan publik

Otonomi pembiayaan pendidikan juga berpotensi menyesatkan publik. Janji pendidikan gratis dalam kampanye para calon kepala daerah dan caleg, adalah contoh politisasi vulgar yang berakibat tragis. Di Lampung, sejumlah guru terdorong berutang karena kampanye pilkada menjanjikan pelunasan utang jika calon tertentu terpilih.

Kasus-kasus itu menunjukkan variasi pemaknaan dan implementasi otonomi pembiayaan pendidikan karena kesadaran yang berbeda antardaerah.

Karena itu, monitoring implementasi komitmen daerah penting dilakukan. Secara keseluruhan, kembali ke agenda penguatan civil society adalah jalan paling cerdas untuk mencegah rakyat dari ambivalensi politik elite negara dalam mewujudkan pemerataan pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar