Selasa, 17 Maret 2009

MANAJEMEN PEMBELAJARAN

Artikel 1
Judul:Memberdayakan MGMP,Sebuah Keniscayaan

SETELAH menunggu sejak tahun 2001, akhirnya seluruh pengurus MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) SMA (Sekolah Menengah Atas) Kota Bandung mendapatkan pengakuan de jure, yakni sesudah memperoleh pengesahan dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung. Para pengurus MGMP itu secara serempak pada hari Jum`at, 12 Maret 2004, bertempat di Balai Kota Bandung, dilantik oleh Wakil Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung (Drs. Odjie Mahrodjie), atas nama Walikota Bandung.

Bagaimana eksistensi, peranan, dan kinerja MGMP sesudah meraih legalitas dari pemerintah daerah?. Yang pasti, yang pertama dan utama, MGMP tidak akan lagi dihadang oleh hambatan birokratis seperti selama ini terjadi, karena sudah mengantongi legitimasi dari Dinas Pendidikan Kota Bandung. Namun peranan dan kinerja MGMP masih harus ditunggu (wait and see) eksistensinya. Paling tidak, setumpuk asa dicurahkan kepada wadah profesionalisme guru di tingkat SMA Kota Bandung itu dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di tingkat menengah.

Sebagaimana kita ketahui, MGMP merupakan suatu forum atau wadah profesional guru mata pelajaran yang berada pada suatu wilayah kabupaten/kota/kecamatan/sanggar/gugus sekolah. Ruang lingkupnya meliputi guru mata pelajaran pada SMA Negeri dan Swasta, baik yang berstatus PNS maupun Swasta dan atau guru tidak tetap/honorarium. Prinsip kerjanya adalah cerminan kegiatan "dari, oleh, dan untuk guru" dari semua sekolah. Atas dasar ini, maka MGMP merupakan organisasi nonstruktural yang bersifat mandiri, berasaskan kekeluargaan, dan tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan lembaga lain.

Tujuan diselenggarakannya MGMP ialah : Pertama, untuk memotivasi guru guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan, dan membuat evaluasi program pembelajaran dalam rangka meningkatkan keyakinan diri sebagai guru profesional; Kedua, untuk menyatakan kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan; Ketiga, untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari solusi alternatif pemecahannya sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing, guru, kondisi sekolah, dan lingkungannya; Keempat, untuk membantu guru memperoleh informasi teknis edukatif yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan kurikulum, metodologi, dan sistem pengujian yang sesuai dengan mata pelajaran yang bersangkutan; Kelima, saling berbagi informasi dan pengalaman dari hasil lokakarya, simposium, seminar, diklat, classroom action research, referensi, dan lain-lain kegiatan profesional yang dibahas bersama-sama; Keenam, mampu menjabarkan dan merumuskan agenda reformasi sekolah (school reform), khususnya focus classroom reform, sehingga berproses pada reorientasi pembelajaran yang efektif.

Selain itu, MGMP pun dituntut untuk berperan sebagai : Pertama, reformator, dalam classroom reform, terutama dalam reorientasi pembelajaran efektif; Kedua, mediator, dalam pengembangan dan peningkatan kompetensi guru, terutama dalam pengembangan kurikulum dan sistem pengujian; Ketiga, supporting agency, dalam inovasi manajemen kelas dan manajemen sekolah; Keempat, collaborator, terhadap unit terkait dan organisasi profesi yang relevan; Kelima, evaluator dan developer school reform dalam konteks MPMBS; dan Terakhir, clinical dan academic supervisor, dengan pendekatan penilaian appraisal.

Berdasarkan tujuan dan peran di atas, maka berikut ini adalah beberapa fungsi yang diemban MGMP, yaitu: Pertama, Menyusun program jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek serta mengatur jadwal dan tempat kegiatan secara rutin; Kedua, memotivasi para guru untuk mengikuti kegiatan MGMP secara rutin, baik di tingkat sekolah, wilayah, maupun kota; Ketiga, meningkatkan mutu kompetensi profesionalisme guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian/evaluasi pembelajaran di kelas, sehingga mampu mengupayakan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di sekolah; Keempat, mengembangkan program layanan supervisi akademik klinis yang berkaitan dengan pembelajaran yang efektif; Kelima, mengembangkan silabus dan melakukan Analisis Materi Pelajaran (AMP), Program Tahunan (Prota), Program Semester (Prosem), Satuan Pelajaran (Satpel), dan Rencana Pembelajaran (Renpel); Keenam, mengupayakan lokakarya, simposium dan sejenisnya atas dasar inovasi manajemen kelas, manajemen pembelajaran efektif (seperti : PAKEM-Pendekatan Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan-, joyful and quantum learning, hasil classroom action research, hasil studi komparasi atau berbagai studi informasi dari berbagai nara sumber, dan lain-lain.); Ketujuh, merumuskan model pembelajaran yang variatif dan alat-alat peraga praktik pembelajaran program Life Skill, baik Broad Based Education (BBE) maupun High Based Education (HBE); Kedelapan, berpartisipasi aktif dalam kegiatan MGMP Propinsi dan AGMP nasional serta berkolaborasi dengan MKKS dan sejenisnya secara kooperatif; Kesembilan, melaporkan hasi kegiatan MGMP secara rutin setiap semester kepada Dinas Pendidikan Kota Bandung; Kesepuluh, memprakarsai pembentukan Asosiasi Guru Mata Pelajaran (AGMP) dan menyusun AD/ART MGMP Kota Bandung.

Dari paparan di muka, mau tidak mau, cepat atau lambat, disadari atau tidak, langsung atau tidak langsung, memberdayakan MGMP adalah sebuah keniscayaan. Terlebih lagi pada tahun pembelajaran 2004-2005, yang mulai berlaku efektif Juli 2004 nanti, di mana Kurikulum 2004 (lebih populer dengan KBK, Kurikulum Berbasis Kompetensi) digelar secara nasional, maka memberdayakan MGMP sebagai sebuah wadah profesionalisme guru akan menjadi salah satu barometer keberhasilan pendidikan menengah khususnya dan dunia pendidikan umumnya. Kiprahnya ditunggu oleh para user, dinantikan kehadirannya oleh para guru, para siswa, seluruh orang tua siswa, masyarakat, dan siapa saja yang peduli terhadap upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.


Artikel 2
Judul: Model pembelajaran e-Learning dan kemandirian belajar

Meskipun sudah agak ketinggalan, tidak ada salahnya kita sebagai sivitas akademis, terus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi terutama teknologi informasi. Dalam tulisian ini saya ingin share mengenai perkembangan model pembelajaran e-learning yang terus berkembang. Apa dan bagaimana sih sebenarnya model pembelajaran e-learning untuk mendukung aktivitas belajar mandiri mahasiswa.

Kalau sebelumnya kita memahami e-learning hanya sekedar belajar secara online, namun sebenarnya lebih dari itu. e-learning memiliki karakteristik open alias terbuka, fleksibel dan distributed. Disamping itu, e-learning bisa terjadi secara online, offline (walau dengan hanya satu stand alone komputer), sinkronous (chatting, video conference), asinkronous (e-mail, milist, forum) baik secara individu maupun kelompok.

Pada dasarnya model pembelajaran e-learning bersifat self-faced dengan kata lain e-learning mencirikan pembelajaran dengan sistem belajar mandiri. lebih bersifat student-centered, karena mahasiswa-lah yang memiliki otonomi untuk menentukan apa yang akan ia pelajari, bagaimana memplejarainya (secara kelompok atau individual), melalui apa belajarnya (offline, online, chatting, e-mail, forum diskusi), dan dimana belajarnya. (Uwes Anis Chaeruman (2008).

Adapun tugas penyelenggara, khususnya dosen adalah sebagai fasilitator atau manajer pembelajaran agar semua kombinasi model pembelajaran dapat optimal berjalan sehingga menjadi efektif, efisien, dan juga menarik tentunya.

Ada empat bentuk aktivitas Model pembelajaran e-learning adalah sebagai berikut :

  1. Individualized self-paced e-learning online yaitu pebelajar dapat belajar secara mandiri dengan cara mengakses informasi atau materi pelajaran secara online via intranet atau internet. Dimana kampus memiliki fasilitas intranet. dosen menyediakan sumber belajar, baik dalam bentuk teks (text-based content) seperti pdf, ppt, doc, atau sejenisnya, atau dalam format multimedia (multimedia-based content) seperti video streaming, animasi, game dan lain-lain dalam server intranet tersebut. Dosen/mahasiswa kemudian dapat mempelajarinya kapan saja, materi apa saja yang sesuai dengan minatnya, dimana saja (tidak harus dalam kelas, yang jelas bisa mengakses intranet tersebut) secara individu.
  2. Individualized self-paced e-learningoffline yaitu situasi dimana mahasiswa mempelajari materi belajar melalui paket-paket pembelajaran seperti video pembelajaran, CD-interaktif (multimedia pembelajaran), e-book, dan lain-lain yang tidak dilakukan melalui jaringan intranet atau internet.
  3. Group-basede-learningsynchronousely yaitu mahasiswa secara berkelompok mengikuti pembelajaran dalam waktu yang sama walau dari tempat yang berbeda melalui tool komunikasi sinkronous seperti chatting (text-based conferencing), konferensi audio dua arah (two-way audio conferencing), atau konferensi video (video conferencing) baik melalui intra atau internet.
  4. Group-basede-learningasynchronousely yaitu siswa atau mahasiswa secara berkelompk mengikuti proses pembelajaran melalui intra atau internet tapi komunikasinya tidak real time, tapi tertunda (delayed) dengan e-mail, forum diskusi, mailing list, atau asynchronous (offline) chatting.
Artikel 3
Judul:Pembelajaran dalam sekoah

Dalam system pendidikan nasional dikenal adanya jenjang pendidikan yaitu tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan. Maka demi keberhasilan pendidikan bermutu diperlukan  pembagian jenjang pendidikan formal yang terdiri dari atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Disinilah muncul sebuah pertanyaan, bagaimana cara penyampaian pesan melalui pembelajaran di setiap jenjang pendidikan itu? Untuk sekolah Katholik sudahkan pembelajaran berdasarkan pelayanan kasih yang memerdeka-kan anak didik? Oleh karena itu dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan diperlukan sumber daya pendidikan demi lancarnya penyelenggaraan pendidikan yang meliputi sarana prasarana, tenaga kependidikan, masyarakat, dana guna memenuh kualitas mutu bagi hasil pembelajaran. Dengan demikian diperlukan sebuah gedung/sekolah sebagai tempat KBM (kegiatan belajar mengajar), kurikulum yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dengan segala kelengkapannya mulai dari GBPP (Garis Besar Program Pengajaran), silabus, kerangka pembelajaran untuk PBM (Proses Belajar Mengajar) itu sendiri. demi mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sebagai bentuk tanggung jawab kepada stakeholders atas pembelajaran yang telah dilakukan adanya evaluasi. Karena dengan demikian pembelajaran yang telah dil;aksanakan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan ada pertanggung jawaban kepada orang tua.Sebuah pembelajaran di setiap jenjang satuan pendidikan(baca= sekolah) merupakan proses pembentukan manusia-manusia muda guna menemukan jati dirinya. Demi membentuk  manusia muda yang berkualitas, cerdas, berpikir kritis, inovatif maka tanggung jawab pendidik beserta satuan pendidikan yang menaungi baik itu milik Pemerintah maupun Yayasan mempunyai beban moral yang besar. Dengan demikian pola manajemen pembelajaran sekolah antara pemerintah dalam hal ini Pemerintah daerah (Pemda), yayasan satu dengan yang lain tidaklah sama. Maka ketika output pendidikan sudah di dapat dan berbaur dalam masyarakat, tampaklah sebuah kualitas mutu dari hasil proses pendidikan tersebut.Lalu bagaimanakan sekolah-sekolah dalam yayasan Katholik sudahkah mampu menghasilkan output yang dapat diterima oleh masyarakat ? Sudah pulakah melakukan sebuah inovasi dalam pendidikan? Karena di era globalisasi sekarang ini semakin banyak bermunculan sekolah-sekolah yang menawarkan program unggulan mulai dari sekolah plus, berbasis kurikulum internasional, adanya program akselerasi, emersi, koalisi serta bentuk bentuk penawaran yang lain. Dengan demikian persaingan dalam dunia persekolahan semakin ketat dan berat.Kalau yayasan sekolah katholik tetap bersikukuh dengan pola lama karena sudah menyandang nama besar, bukan mustahil beberapa dekade mendatang akan rontok di tengah jalan. Karena fakta sudah membuktikan ketika banyak sekolah swasta termasuk sekolah Katholik di tahun ajaran 2004-2005 mulai kekurangan murid. Maka tinggal tunggu waktu saja untuk tutup bila tidak berinovasi.

Pembelajaran “kasih”

Saat ini Pemerintah lagi gencar mensosialisasikan pelaksanaan KBK (kurikulum berbasis kompetensi). Sebenarnya KBK sendiri sudah harus mulai dilaksanakan serentak pada tahun ajaran 2004-2005, namun karena banyak sekolah belum siap masih ada toleransi untuk memakai kurikulum lama. KBK sendiri merupakan bentuk pergeseran  pembelajaran  dari pembelajaran kelompok (klasikal) ke pembelajaran individual, pengembangan konsep belajar tuntas dan pendefinisian terhadap bakat. Pada dasarnya pembelajaran KBK tidak lagi berpusat kepada guru melainkan kepada siswa sedang guru berfungsi sebagai fasilitator. Siswa dan guru sama-sama aktif dalam KBM. Dengan demikian seorang guru harus benar-benar mengenali setiap siswa baik sifat, pribadi, perilaku, karakter, kecepatan berpikir, maupun gaya belajar termasuk potensi kecerdasan yang dimlikinya. Fungsi guru tidak hanya sebagai pengajar, pendidik namun harus aktif mendampingi siswa. Pendampingan kepada siswa ini dapat dikatakan sebagai bentuk pembelajaran “kasih”, karena seorang guru harus tulus dalam menerima, mendidik, mengarahkan segala potensi yang dimiliki siswa. Tidak ada lagi kata setengah-setengah dalam memberikan pembelajaran kepada anak didik karena harus total memberikan apresiasi pengabdian kepada pendidikan. Pada prinsipnya seorang guru (katholik) harus tulus menerima apa adanya keadaan siswa. Tidak hanya sebatas teori namun butuh peran nyata untuk aktualisasi. Oleh karena itu secara umum seorang guru harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Karena demi mengoptimalkan dalam memberikan pelayanan kasih kepada siswa diperlukan kedewasaan berpikir dan bersikap. Oleh karena itu demi pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan pihak ‘Penguasa” pendidikan harus menempatkan guru sesuai sengan kewenangan mengajarnya. Jangan sampai terjadi untuk penerimaan, perekrutan dan penempatan guru dihinggapi penyakit KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Apalah jadinya akhir dari proses pendidikan bila pendidiknya saja sudah terlibat tindakan tidak terpuki.Selain itu demi mengikuti perkembangan jaman dan berlakunya kurikulum yang baru (KBK) guru harus memperkaya dirinya melalui banyak membaca, mengikuti pelatihan/ lokakarya/penataran, aktif bertanya kepada mereka yang berpengalaman dan sebisa mungkin meningkatkan pengetahuan dengan studi lanjut. Dengan demikian diharapkan seorang guru dapat menggali “mutiara” terpendam (self hidden potential excellent) yang dimiliki siswanya. Ibaratnya untuk mendapatkan semua itu diperlukan semangat kasih dalam pelaksanaannya. Diharapkan sekolah-sekolah Katholik dalam pelayanan pendidikannya tidak lepas daripada nilai-nilai kasih Kristiani.Untuk itu demi tercapainya pembelajaran “kasih” di sekolah setiap pendidik harus beranggapan bahwa setiap anak pada hakekatnya cerdas. Seperti yang dikatakan oleh Howard Gardner (ahli Multiple Intelegencia) dalam bukunya Frames of Minds bahwa kecerdasan yang dimliki manusia tidak hanya monopoli kecerdasan intelektual (IQ) namun ada kecerdasan lain. Kecerdasan lain yang mungkin dimiliki oleh anak meliputi kecerdasan linguistic, kinestik, special, logical-matematikal, musical, interpersonal dan intrapersonal.Sedangkan Daniel Goleman menemukan bentuk kecerdasan lain yaitu Emotional Intelegence (EI). Dijelaskan bahwa orang yang ber IQ tinggi belum tentu sukses, namun yang biasa-biasa justru berhasil. Karena pengoptimalan kecerdasan emosional mencerminkan seorang untuk berempati dengan orang lain, menunda luapan kegembiraan. mengendalikan perasaan, sadar diri dan bergaul secara efektif dengan orang lain. Seiring dengan perkembangan ilmu (psikologi dan humaniora) akan ditemukan kecerdasan dalam dimensi lain. Sebagai upaya mengaktualisasikan kecerdasan yang dimiliki oleh siswa maka perlu digali, ditingkatkan dan dimaksimalkan potensinya. Lalu bagaimana caranya pembelajaran “kasih” di sekolah Katholik yang dilakukan oleh guru?Anak tidak lagi obyek pembelajaran namun subyek pembelajaran. Dengan semangat kasih akan di dapatkan segala potensi siswa. Oleh karena itu dari banyak tingkah laku siswa yang dalam pengawasan seorang guru “bervariatif” jangan sampai seorang guru salah menyikapi. Karena pendekatan yang keliru tanpa semangat “kasih” , sebuah hukuman atau sanksi yang keliru dapat membuat siswa frustrasi dan tidak lagi mampu mengembangkan potensi yang dimiliki. Dengan demikian gagalah sebuah upaya yang berlandasan penggalian potensi siswa yang terpendam. Meski kekuasaaan guru dalam pembelajaran masih cukup dominan bukan berarti siswa yang nakal harus ditolerir. Disinilah penerapan peran pembelajaran “kasih”. Kasih jenis Agape merupakan bentuk cinta tanpa syarat yang akhirnya berasal dari Tuhan, kasih berani berkorban. Bahkan mengorbankan diri seluruhnya tanpa mengharap imbalan. Seluruh hati dan jiwa hanya untuk orang yang dikasihi yaitu siswa siswi yang menjadi tanggung jawabnya.Kasih dengan semangat berkorban inilah yang saat ini dibutuhkan para siswa yang diberikan gurunya pada jenjang pendidikan sekolah pada era globalisasi. Bila seorang siswa cerewet, mudah berkomunikasi, banyak teman menunjukkan kecerdasan bahasa (linguistik), oleh karena itu seorang guru harus berani mencoba siswa ini untuk sering dijadikan pembawa acara dalam event yang diselenggarakan di sekolah. Kelebihan dalam menghapal lagu, memainkan alat musik, membaca tanda nada serta olah vocal merupakan bentuk kecerdasan musik (musical). Demikian seterusnya bila ada kemampuan lebih yang dimiliki siswa maka dengan penuh kasih guru garus berani mengoptimalkan kemampuan dan memberikan kebebasan untuk berkspresi.Kesempatan demi kesempatan dengan pendampingan secara intens dan khusus akan semakin membentuk karakter anak didik menjadi manusia yang mandiri.Sperti contoh kecil yang sering dilakukan oleh siswa menjelang hari kasih sayang (Valentine days) tanggal 14 februari. Untuk anak jenjang pendidikan usia dini, seorang guru harus pandai menumbuhkan sikap anak untuk mencintai teman atau orang yang lebih tua(orang tua) dengan memberikan bingkisan). Untuk anak-anak jenjang pendidikan menengah biasanya rame-rame membuat acara yang bertemakan kasih sayang. Dengan menawarkan parcel “kasih sayang” , pengiriman kartu baik itu diberikan kepada teman, guru maupun orang tua.Dalam hal ini seorang guru harus menyikapi dengan semangat kasih. Dengan memberikan dorongan, semangat bahkan ikut terlibat bersama siswanya akan semakin memompa siswa untuk semakin kreatif. Siswa yang aktif membuat kegiatan seperti ini berarti mempunyai jiwa pemasar, menjaga relasi dan entertaint/organizer. Dengan demikian menunjukkan kecerdasan bergaul (interpersonal) sehingga dapat menjadi seorang marketing yang berhasil.Pada hakekatnya setiap anak punya potensi kecerdasan yang berbeda. Oleh karena itu dengan pendekatan pembelajaran kasih di sekolah akan dengan mudah diketemukan kecerdasan alam (bakat) karena siswa tidak lagi menjadi “takut” kepada guru  dan bila dioptimalkan dapat menjadi pegangan untuk hidup layak di kemudian hari.Dengan demikian orang berhasil dalam kehidupannya tidak harus ber IQ tinggi dan selalu mendapat nilai akademis sempurna, namun banyak peluang keberhasilan dan kesuksesan yang sama besarnya. Lalu sudahkah pembelajaran kasih dioptimalkan di sekolah?Sekolah Katholik di era globalisasi harus memulai lebih dini pembelajaran berdasar kasih secara riil. Jangan lagi muncul banyak keluhan  dari masyarakat bahwa sekolah Katolik “mahal”, banyak dijejali oleh tugas-tugas dalam KBM sehingga sulit menemukan potensi siswa yang unggul serta kurang berpihak pada kaum miskin dan terlantar.Kalau ini masih terjadi maka tidak heran bila sekolah katholik ikut andil dalam membentuk karakter manusia “robot”. Manusia yang hanya bekerja berdasar perintah, tidak adanya jiwa “pemberontak”, menjalankan segala aktivitas sesuai  baku, kurang inovasi, cepat puas, stagnan serta  kurang adanya terobosan-terobosan baru dan lebih ironis lagi tidak ada semangat kasih yang tumbuh dalam semangat siswa-siswi sekolah katholik. Kasih dapat tumbuh, muncul, berkembang dan bersemai dengan baik bila pengelola, pekerja (guru) dan siapa saja yang terlibat dalam sekolah memberikan teladan semangat Kasih seperti Tuhan Yesus Kristus.Oleh karena itu apa yang tersurat  dalam Yohanes 15: 9 – 17, perihal  perintah supaya saling mengasihi. Mari kita mulai sejak sekarang pelayanan kasih optimal kepada siswa di sekolah kita, sehingga dapat dengan mudah membantu penggalian potensi-potensi siswa yang terpendam. Karena menghargai siswa dengan tidak lagi sebagai hamba (obyek didik) namun sebagai sahabat (subyek didik), karena bila hamba tidak akan tahu yang diperbuat oleh tuannya. (yoh.15: 13). Semoga. Fx triyas hadi prihantoroPengajar sma pangudi luhur santo yosef surakarta


Artikel 4

Judul:Quo Vadis Sekolah Berstandar Internasional?
Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003, pemerintah memperkenalkan klasifikasi sekolah baru. Sekolah itu antara lain disebut sekolah bertaraf internasional (SBI), sekolah dengan kategori mandiri (SKM), dan kelompok sekolah biasa (SB). Pada SBI, pihak penyelenggara pendidikan diberi ruang untuk menggunakan silabus pembelajaran dan penilaian yang umumnya dipakai pada sekolah menengah di negara-negara yang tergabung dalam OECD. Silabus pembelajaran dan penilaian itu hanya berfungsi sebagai bahan pengayaan terhadap kurikulum nasional (KTSP). Sementara itu, untuk sekolah dengan kategori mandiri, pihak penyelenggara pendidikan dapat memakai sistem kredit semester (SKS) sebagaimana lazimnya di perguruan tinggi. Di sisi lain, sekolah biasa hanya menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara klasikal dan dengan menggunakan KTSP. Meskipun klasifikasi sekolah itu mungkin dipandang baik untuk mendorong perubahan dan meningkatkan kualitas pendidikan, karena sosialisasinya belum berjalan maksimal, hasilnya masih sedikit membingungkan masyarakat.

Pada 2004/05, SMA Negeri 70 Jakarta dan SMA Labschool mulai mengadopsi silabus Cambridge Advance Level (A Level) guna memperkaya kurikulum nasional pada siswanya. Selanjutnya program yang sama diperkenalkan di SMA Negeri 8 Jakarta, SMA Negeri 21 Jakarta, dan SMA Negeri 68 Jakarta. Sekarang, sekolah bertaraf internasional (SBI) itu sudah tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Air. Diperkirakan, menjelang berakhirnya tahun anggaran 2009, jumlah SBI akan mencapai 260 sekolah, terdiri dari SMA 100 sekolah, SMP (100), dan SMK (60) yang diharapkan akan mampu melepaskan predikat sekolah rintisannya (Pena Pendidikan/edisi daring, 28 Maret 2008).

Good practice
Meskipun penyelenggaraan program kualifikasi internasional masih relatif singkat, beberapa sekolah yang menggunakan Cambridge IGCSE/A Level di Jakarta sudah mulai berhasil menunjukkan hasil kerja kerasnya. Prestasi dan kemajuan yang diperoleh itu merupakan hasil pembinaan, dampingan, dan pengawasan yang dilakukan secara sistematis, teratur, dan terukur oleh tim pengembang SBI yang dibentuk Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta. Hal itu dapat dilihat dari semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar dan berefleksi (reflective teaching and learning) serta berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap pendidikan demokratis dan multikultural sebagaimana dibuktikan saat mereka melayani siswa dengan kemampuan, kecepatan, dan minat yang beragam. Guru dalam SBI semakin memahami makna dari konsep pembelajaran deep-learning, higher order thinking skills, dan contextual learning bagi siswa dan semakin mengetahui keterbatasan dan manfaat dari pembelajaran rote learning yang selama ini biasa dipakai di sekolah. Sementara itu, kemajuan pada siswa ditunjukkan dengan semakin tampaknya sikap kemandirian, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, kejujuran, toleransi, dan risk taking.

Hasil perolehan siswa pada ujian IGCSE dalam tiga tahun pertama (2005-2007) cukup menggembirakan. Sebagaimana diketahui, program Cambridge A Level merupakan golden standard-nya Cambridge International Examination (CIE) yang sertifikatnya sudah diakui sejumlah universitas ivy league mancanegara, seperti University of Cambridge, Oxford University, Harvard University, MIT, dan Stanford University. Kelebihan lain dari program ini adalah pembelajaran dan penilaian Cambridge IGCSE lebih menekankan pada kemampuan pemecahan masalah, menumbuhkan pemikiran kreatif, dan autentik (contextual learning), maka materinya terkesan sedikit lebih sulit. Pada IGCSE, hampir seluruh mata pelajaran yang dipilih (matematika, english as a second language, fisika, kimia, dan biologi), prestasi siswa sangat memberikan harapan seperti terlihat pada grafik perbandingan hasil IGCSE 2005-2006 dan 2006-2007 di bawah ini.
Bahkan untuk mata pelajaran matematika, rata-rata siswa SMA negeri Jakarta yang memperoleh nilai (C-A) persentasenya lebih besar daripada siswa 140 negara partisipan silabus Cambridge IGCSE di seluruh dunia. Hasil IGCSE dan A Level periode 2005-2007 itu cukup memberikan gambaran bahwa siswa-siswa sekolah menengah kita juga mampu menunjukkan prestasi internasional mereka meskipun tanpa harus mengeluarkan anggaran sangat besar seperti pada kegiatan Olimpiade Sains dan Matematika.
Perkembangan SBI sejauh ini dapat dijadikan sebagai indikator akan besarnya minat dan keinginan pengelola pendidikan pada tingkat sekolah dan madrasah untuk melakukan inovasi dan peningkatan kualitas pendidikan. Rasa ingin tahu dan keberanian untuk mencoba mulai tumbuh dengan positif dan menggembirakan. Namun, yang agak sedikit merisaukan dari temuan kami di beberapa daerah, ternyata kecepatan sekolah-sekolah dalam melakukan perubahan (mengadopsi silabus pembelajaran dan penilaian asing) masih belum diimbangi dengan upaya yang sistematis untuk memperkuat dan meningkatkan mutu sumber daya kependidikan (kepala sekolah, guru, dan manajemen), membangun sistem kontrol dan akuntabilitas atas seluruh kegiatan akademis dan administrasi keuangan sekolah. Akibatnya, pertumbuhan SBI yang begitu cepat itu malah menimbulkan masalah, kontraproduksi, dan kehilangan arah (sense of direction). Dengan hilangnya pesan perubahan, yang sebelumnya tecermin dari perubahan manajemen sekolah yang menjadi lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif, program SBI ini diduga hanya akan membawa kecemasan baru pada masyarakat. Masih lemahnya mutu pengelolaan SBI diakui Surya Dharma PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas. Dari 260 kepala sekolah SBI yang diberikan tes kemampuan bahasa Inggris, TOEIC, menurut Surya Dharma, hanya 10% yang memiliki kemampuan memadai, sedangkan sisanya, 90% kemampuannya hanya mencapai skor 245, artinya masih di bawah tingkat dasar (elementary). Data lain, hasil ujian IELTS guru yang akan diproyeksikan dapat mengajar pada kelas rintisan internasional menunjukkan keadaan yang serupa. Dari sekitar 40 peserta, kurang dari 20% yang mampu memperoleh skor IELTS antara 4,0-4,5, sedangkan sisanya hanya memperoleh skor antara 2,5-3,7. Padahal seorang guru diizinkan mengajar program internasional harus memiliki skor minimal 6,5 pada IELTS (atau skor 550 pada TOEFL). Hasil penilaian terhadap kompetensi akademis dan kemampuan pedagogis guru pengajar menunjukkan keadaan hampir sama, memprihatinkan.

Atas dasar itu, Depdiknas diharapkan dapat sedikit menahan dan mengendalikan pertumbuhan sekolah-sekolah SBI. Depdiknas harus berani untuk mulai melakukan refleksi terhadap konsep dan pelaksanaan SBI sejauh ini. Depdiknas (direktorat-direktorat pembina tingkat pusat, pusat kurikulum, pusat penilaian, dan dinas pendidikan) harus dapat duduk bersama untuk merumuskan kembali kebijakan tentang SBI dengan lebih baik dan terukur. Depdiknas harus dapat menyusun roadmap SBI, revisited curriculum framework, mengkaji ulang standar, penilaian, dan evaluasi program yang digunakan selama ini. Agar hasil kajian itu dapat lebih optimal hasilnya, Depdiknas hendaknya dapat juga melibatkan sekolah-sekolah yang tergabung dalam national school plus (NSP) dan institusi pendidikan lainnya yang sudah berpengalaman dan berhasil mengelola program pendidikan internasional (international credentials). Depdiknas harus berusaha melepaskan sikap memiliki (possessive) yang berlebihan dan mulai menumbuhkan kemampuan bekerja sama (collaborative works) dengan lembaga/individu di luar pemerintah (non state agencies) yang mungkin selama ini dipandang sangat kritis terhadap beberapa kebijakan pemerintah.

Upaya peningkatan mutu pendidikan haruslah didukung dengan program pengembangan guru, kepala sekolah, dan manajemen (capacity building), yang dilakukan secara sistematis, terukur, dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh stakeholder pendidikan. Pemahaman terhadap pentingnya pembangunan sumber daya kependidikan (SDK) secara berkelanjutan itu harus ditanamkan pada setiap pengelola dan pelaksana kebijakan pendidikan pusat dan daerah. Selain itu, fungsi dan peranan kepala sekolah harus selalu semakin diefektifkan terutama yang berkaitan dengan manajemen pembelajaran (instructional management) serta monitoring dan evaluasi (monev). Kepala sekolah harus dapat menjadi teladan dan sumber inspirasi bagi guru, siswa, dan manajemen sekolah lainnya. Lebih dari itu, kepala sekolah bersama pemangku pendidikan lainnya harus mampu membangun dan mengembangkan visi bersama sekolah dan mewujudkannya secara bersama pula. Setiap perubahan pasti akan melahirkan tantangan dan harapan baru. Namun, sebagaimana dikemukakan Hoffer pada awal tulisan ini, hanya bagi mereka yang mampu menjaga dan memupuk motivasinya untuk terus belajar (learner) yang akan dapat mewarisi dan mengendalikan masa depan planet yang selalu berubah ini.

Artikel 5
Judul: Transformasi Diknas Dengan Sistem Sekolah 2.0
Datangnya tahun ajaran baru selalu menyita perhatian dan merepotkan segenap bangsa. Persoalan pendidikan nasional (diknas) semakin rumit dan menjadi lingkaran setan. Usaha untuk meningkatkan mutu diknas sering kandas karena terkendala oleh ekonomi biaya tinggi di lembaga pendidikan. Di mata rakyat perangai lembaga pendidikan semakin kapitalistik dan kejam. Angin surga sekolah gratis yang ditiupkan oleh politisi semakin bikin muak rakyat. Faktanya, berbagai pungutan wajib yang irasional semakin marak di tahun ajaran baru. Mestinya berbagai pungutan itu disikat habis. Yang lebih memprihatinkan lagi langkah pemerintah untuk membenahi diknas belum transformatif dan progresif sesuai dengan kemajuan jaman. Padahal, fenomena globalisasi yang ditandai oleh kekuatan konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mestinya dijadikan faktor mendasar untuk mentransformasikan diknas. Pentingnya visi pemerintah membangun sistem yang mendukung terwujudnya lingkungan pembelajaran generasi baru alias Next Generation Learning Environment. Yaitu dengan cara pemanfaatan teknologi TIK terkini untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, administrasi, serta interaksi dan kolaborasi antara guru, siswa, orangtua, komunitas, dan sekolah yang lebih efektif dan murah.

Jika kita refleksikan dengan perkembangan TIK global dewasa ini, maka bisa digambarkan tiga kategori atau era sekolah. Pertama, Sekolah Konvensional, dengan ciri sudah mulai memanfaatkan Teknologi Informasi (TI) namun masih sederhana misalnya baru sebatas memanfaatkan aplikasi office (word processor, spreadsheet, presentation) untuk menggantikan mesin ketik manual di Laboratorium Komputer sekolah dan di bagian administrasi sekolah. Keadaan ini disebut pemanfaatan TI pada era Sekolah 1.0. Kedua, Program Jardiknas dari Depdiknas mulai diperkenalkan. Sekolah mulai memasuki era pemanfaatan internet. Lalu program pembelian hak cipta buku yang dilanjutkan dengan penyediaan e-Book mendorong sekolah memasuki era baru yaitu kategori Sekolah 1.5. Pada era Sekolah 1.5. sekolah-sekolah mulai memasuki tahapan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) secara serentak. Namun potensi TIK tersebut juga belum dimanfatkan secara optimal. Yaitu masih sebatas sebagai alat bantu tulis-menulis pada bagian administrasi sekolah, mengajar office di Laboratorium Komputer dan mengunduh e-Book. Seharusnya TIK bisa dimanfaatkan lebih luas dari itu, yaitu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, administrasi, interaksi dan kolaborasi antara guru, siswa, orangtua, komunitas dan sekolah.

Ketiga, perkembangan internet telah mengarah ke teknologi Web 2.0 yang ditandai diantaranya berkembangnya sistem berbasis jejaring sosial (social networking). Juga diwarnai teknologi AJAX yang memungkinkan berjalannya aplikasi web seperti aplikasi desktop, berkembangnya teknologi multimedia baik audio dan video streaming, dan lain-lain. Sistem di sekolah yang memanfaatkan kemajuan internet diatas disebut Sistem Sekolah 2.0. Sistem tersebut dibangun untuk menunjang penyelenggara satuan pendidikan tingkat dasar dan menengah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sesuai Standar Nasional Pendidikan. Sekolah 2.0 mengintegrasikan Portal Sekolah dengan Layanan Pembelajaran seperti e-Academic, e-LearningManagement, e-Authoring&Learning, e-Library, dan Layanan Administrasi Sekolah seperti e-Filling, e-Finance, e-Pegawai, e-Perlengkapan serta sistem untuk memantau kegiatan di sekolah secara keseluruhan.

Signifikansi transformasi diknas dengan Sistem Sekolah 2.0 bisa meningkatkan kinerja guru secara progresif. Forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dalam menyusun materi ajar secara kolaboratif juga bisa terwujud dengan baik. Yang pada gilirannya forum itu bisa memperkuat arus World Wide Innovative Teacher yang mereformasi pendidikan secara cepat. Sistem Sekolah 2.0 juga mempermudah pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) di kelas. CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata. Serta mendorong siswa membuat keseimbangan antara pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga pembelajaran menjadi lebih bernilai tambah. Dalam kelas yang berkarakter CTL, tugas guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan pendorong daya inovasi dan kreatifitas siswa.

Sistem Sekolah 2.0 juga bisa mereformasi Lembar Kerja Siswa (LKS) atau Buku Kerja Siswa (BKS) lebih adaptif dan komprehensif dengan perkembangan IPTEK. Siswa bisa membuat LKS kedalam Blog siswa, dengan demikian materi dan tampilannya lebih sempurna. Hingga saat ini LKS masih jauh dari ideal, karena hanya berisi materi dan soal-soal. Selain itu ditinjau dari segi penyajiannya pun kurang menarik. Mestinya LKS bisa mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinal, dan rasa ingin tahu. Gambaran masa depan dengan Sekolah 2.0 salah satunya adalah penggunaan LKS yang diintegrasikan dengan Web 2.0 sebagai inovasi dalam dunia pendidikan.

Untuk mengambil manfaat potensi kemajuan di atas secara lebih luas, maka dirancang pengembangan sejumlah aplikasi yang mendukung. Yakni aplikasi yang menggabungkan sistem portal sekolah (e-SchoolPortal), sistem informasi layanan sekolah (e-SchoolService), sistem informasi administrasi sekolah (e-SchoolAdministration), Sistem Informasi Pemantauan Sekolah (e-SchoolMonitoring). E-SchoolPortal merupakan gerbang untuk memulai interaksi bagi seluruh pemangku kepentingan sekolah (guru, siswa, orangtua, komunitas, sekolah). Di dalam portal sekolah terdapat seluruh informasi sekolah maupun kelas, blog guru, blog siswa dan fasilitas untuk akses aplikasi sekolah lainnya. E-SchoolService mencakup sistem informasi operasional pembelajaran seperti sistem informasi akademik (e-Academic), sistem informasi perpustakaan (e-Library), sistem informasi manajemen pembelajaran (e-LearningManagement), dan sistem informasi untuk pengembangan materi ajar dan pengajaran (e-Authoring&Learning). E-SchoolAdministration mencakup sistem operasional administrasi seperti sistem informasi keuangan sekolah (e-finance), sistem informasi pengarsipan (e-filling), sistem informasi kepegawaian (e-pegawai) dan sistem informasi perlengkapan/aset (e-perlengkapan). E-SchoolMonitoring merupakan sistem informasi yang dapat digunakan untuk memonitor yang berkaitan dengan pembelajaran (akademik siswa, perpustakaan, arsip dan learning content) dan memonitor administrasi (perlengkapan, keuangan dan kepegawaian).

Dalam EFA Global Monitoring Report 2005, UNESCO menyatakan bahwa kualitas pendidikan salah satunya ditentukan oleh manajemen sekolah. Oleh karena itu penerapan Sistem Sekolah 2.0 merupakan wahana untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, murah dan transparan. Keunggulan lain dari Sistem Sekolah 2.0 adalah tersedianya fasilitas e-authoring&learning berbasis Crayonpedia (sebuah fasilitas pengembangan materi ajar secara kolaboratif dan terbuka yang dapat diakses di www.crayonpedia.org) dimana guru, ataupun pihak pendidik lain dapat mengunggah (upload) ide dan hasil karyanya, yang berupa materi ajar, ke dalam fasilitas tersebut. Fasilitas ini memberi kesempatan dan kemudahan bagi para pendidik dan yang berminat terhadap pendidikan untuk berpartisipasi dan menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan pendidikan. Dengan adanya fasilitas ini, semakin banyak materi dan informasi yang berkualitas tinggi yang dapat digali oleh para pelajar. Dan sebaliknya, para guru yang dulunya pasif menjadi proaktif dalam menyalurkan ide dan mengembangkan profesinya. Jika Sistem Sekolah 2.0 dijalankan secara serius akan semakin banyak lembaga pendidikan yang terdongkrak standarnya sehingga setara dengan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Penting untuk dicatat, bahwa selama ini betapa rumit dan mahalnya investasi yang dikeluarkan jika suatu sekolah ingin berstatus SBI dengan standard tertentu. Seperti halnya di dunia industri ada ISO, maka di dunia pendidikan ada International Baccalaureate (IB) dari IBO (International Baccalaureate Organization) yang berpusat di Genewa. Sistem Sekolah 2.0 sangat menjanjikan dalam menggapai standar internasional diatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar