Selasa, 17 Maret 2009

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN

Artikel 1
Judul:

Pembiayaan Pendidikan Fokus Kebijakan 100 Hari

Jakarta, Kompas - Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo akan lebih fokus kepada sistem pembiayaan pendidikan dalam kebijakannya. Ia percaya bahwa sistem pembiayaan dengan mekanisme subsidi silang akan berwatak sosial karena masyarakat yang mampu secara finansial akan menyubsidi mereka yang kesulitan secara ekonomi. Sekolah unggulan negeri secara bertahap juga didorong untuk mandiri dan tidak bergantung pada pemerintah.

Untuk pengaturan sementara, akan ada keputusan presiden sebagai bagian dari rencana kerja 100 hari. Jika hasilnya baik, dalam jangka panjang dapat ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah, bahkan perundang-undangan.

"Saya memerhatikan secara serius soal sistem pembiayaan pendidikan dan juga peningkatan mutu. Sebagai dasar, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sudah diamanatkan anggaran pendidikan 20 persen. Tetapi, itu baru kerangka besar dan perlu dijabarkan alokasinya menurut jalur, jenis pendidikan, dan hal lain yang lebih rinci," ujar Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo seusai halalbihalal dengan pegawai Departemen Pendidikan Nasional, Selasa (23/11).

Selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terdapat pula sumber dana dari masyarakat. Baik yang dipungut lembaga pendidikan dari peserta didik maupun hasil jerih payah lembaga tersebut. Penggunaan dana pendidikan dari negara atau masyarakat itu perlu ada aturan memungut, menyimpan, menggunakan, serta mempertanggungjawabkannya.

Pembiayaan pendidikan, menurut dia, harus berwatak sosial, seperti sistem subsidi silang untuk dana yang bersumber dari masyarakat.

Peserta didik dari daerah tertinggal atau miskin diupayakan tetap memiliki akses ke sekolah yang baik atau unggulan dengan sistem subsidi silang. Dengan demikian, sekolah bagus tidak hanya dihuni oleh mereka yang mampu secara ekonomi atau dari kota. Pemerintah akan mendorong setiap kabupaten memiliki sekolah unggulan yang kompetitif.

"Akan dibuka pengaturan subsidi silang, misalnya melalui beasiswa, agar yang tidak mampu tetapi pintar dari berbagai daerah dapat ikut bersaing," ujarnya.

Sekolah unggulan

Ke depan, sekolah unggulan baik negeri atau swasta juga didorong untuk mandiri dalam pembiayaan. Fasilitas pemerintah akan dibatasi. APBN serta APBD dikonsentrasikan untuk pembiayaan sekolah yang berstandar kualitas nasional dan dapat diakses siapa saja.

"Yang namanya pembiayaan pendidikan didasarkan pada tingkat mutu tertentu. Besaran anggaran pendidikan diasumsikan pada tingkat mutu tertentu pula secara nasional. Kemudian dihitung berapa anggaran yang bersumber dari APBN, APBD, dan masyarakat," ujar Bambang.

Jika ada komponen masyarakat yang menginginkan kualitas pendidikan lebih dari standar nasional, konsekuensinya biaya ditanggung sendiri.

Mereka yang mampu menyelenggarakan pendidikan lebih dari yang ditawarkan pemerintah tidak akan dihalangi pula.

Bahkan, pemerintah daerah yang berkeinginan mendirikan bibit sekolah unggulan dipersilakan. Akan tetapi, setelah lembaga itu menjadi sekolah unggulan, kucuran APBN dan APBD akan dibatasi karena dianggap telah mampu membiayai dirinya secara mandiri.

"Semakin banyak sekolah seperti itu semakin baik karena pendidikan akan dibiayai dan digerakkan oleh tenaga dan masyarakat sendiri," katanya.

Dalam jangka panjang, pemerintah mendorong agar sekolah kompetitif tersebut semakin banyak dan mandiri.

Sekolah-sekolah unggulan atau kompetitif tersebut terbuka peluang mengembangkan diri dari dana yang ditarik dari masyarakat. Dengan demikian, standarnya bisa saja di atas standar kompetensi nasional atau minimal sejajar.

Mereka yang tidak mampu dapat mengakses sekolah tersebut juga melalui subsidi silang dengan beasiswa tadi.

Sinkronkan RPP

Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal Depdiknas Baedhowi mengatakan, sistem pembiayaan pendidikan yang tengah digagas oleh Mendiknas tidak akan tumpang tindih dengan konsep yang tertuang pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan yang sudah telanjur disiapkan drafnya oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas.

"Kami akan senantiasa menyinkronkan kedua konsep tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih," katanya.

Namun, Baedhowi mengakui, sinkronisasi atau penyelarasan tersebut butuh proses waktu yang belum tentu bisa dituntaskan dalam masa 100 hari kerja kabinet yang baru ini.

Sesuai Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, RPP yang merupakan turunannya pun menggariskan bahwa sumber pembiayaan pendidikan berasal dari pemerintah dan masyarakat. "Saya kira pengelolaan anggaran pendidikan yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip pembiayaan berwatak sosial atau subsidi silang," katanya.

Kebijakan darurat

Secara terpisah, pengamat pendidikan Winarno Surakhmad mengungkapkan, rencana kebijakan tersebut cenderung darurat dan taktis. "Karena kebetulan saja ada orang kaya yang diharapkan membayari orang miskin," katanya.

Sistem pembiayaan pendidikan seharusnya berangkat dari pandangan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, kaya maupun miskin.

Seharusnya yang dipikirkan pemerintah bukan soal mengatur subsidi silang, melainkan bagaimana pemerintah menjalankan kewajibannya memenuhi hak warga atas pendidikan. Kebijakan itu mengesankan pemerintah tidak mampu memenuhi hak warganya.

Selain itu, dalam jangka panjang dapat muncul hambatan psikologis. Akan muncul kesenjangan sosial karena anggapan bahwa tanpa subsidi mereka yang tidak mampu tidak dapat menempuh pendidikan.

Pemerintah seharusnya memberikan perasaan nyaman dan aman kepada warganya, termasuk dengan memberikan jaminan akses pendidikan.

Terlebih lagi jika di dalam masyarakat telah ada kesadaran dan gerakan moral untuk membantu pendidikan mereka yang berkekurangan.

Winarno juga tidak sepenuhnya setuju dengan sekolah unggulan karena terkadang hanya merupakan cap yang ditempelkan dengan melihat kelebihan fasilitas atau input unggul.

"Justru sebuah sekolah dinilai unggul karena memiliki guru yang baik dan mampu menciptakan anak-anak unggul dengan fasilitas terbatas," katanya.


Artikel 2

Judul:BPR, Alternatif Pembiayaan Pendidikan
BANDUNG, KOMPAS--Menjelang tahun ajaran baru, kebutuhan biaya pendidikan sangat tinggi, namun masih sedikit masyarakat yang memanfaatkan bank perkreditan rakyat atau BPR untuk memeroleh dana tunai. Padahal, BPR memberikan kemudahan syarat yang tidak bisa ditawarkan bank umum maupun lembaga keuangan lainnya. Menurut Pengawas Bank Eksekutif Senior Kantor Bank Indonesia (KBI) Bandung Nina K Aziz, Kamis (6/7), masih sangat sedikit BPR di wilayah Jawa Barat dan Bandung yang memberikan fasilitas biaya pendidikan kepada nasabahnya. Selain itu, KBI Bandung juga belum memiliki data yang akurat tentang BPR yang menyalurkan kreditnya untuk pembiayaan pendidikan. Padahal, BPR merupakan salah satu alternatif lembaga keuangan yang bisa dituju masyarakat mendapatkan dana untuk kebutuhan pendidikan. Peluangnya masih terbuka lebar, meskipun bank-bank umum sudah banyak yang menawarkan kredit pendidikan. Sebab, umumnya pengajuan kredit BPR tidak memerlukan syarat yang susah dan teknis, seperti yang disyaratkan oleh bank umum.”Namun, kita belum pernah memonitor kredit untuk pendidikan secara keseluruhan. Baru ada satu BPR di Bandung yang sudah memberikan kredit pendidikan bagi guru dan sekolah, yaitu Ratna Artha,” kata Nina. Sebelumnya, dalam Seminar Optimalisasi Pembiayaan BPR pada Sektor Pertanian dan Pendidikan, di KBI Bandung, Direktur BPR MMA Teguh Sumaryono juga mengatakan peluang pembiayaan kredit pendidikan sangat besar. Sayangnya, belum banyak BPR yang berani mengambil risiko untuk memberikan fasilitas kredit pendidikan.
Padahal, makin banyak bermunculan sekolah-sekolah favorit dengan biaya masuk yang relatif mahal yang diincar masyarakat, sehingga dibutuhkan dana yang cukup. Demikian pula dengan makin banyaknya masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, serta jalur-jalur khusus yang ditawarkan perguruan tinggi negeri dengan biaya yang tinggi. ”Tahun 2004 jumlah nasabahnya 111 orang dengan total penyaluran kredit sebesar Rp 545 juta, sedangkan tahun 2006 meningkat menjadi 235 nasabah dengan total penyaluran kredit pendidikan sebesar Rp 1,12 miliar. Tingkat kredit macetnya juga sangat kecil, hanya 0,92 persen dibandingkan kredit macet total kredit sebesar 5,05 persen,” kata Teguh.

Peneliti Utama Senior Pusat Pendidikan dan Studi Kebansentralan Bank Indonesia Irman Djaja Dalimi mengatakan, kredit pendidikan tidak hanya terpaku untuk membiayai masuk sekolah calon murid/mahasiswa, tetapi juga bisa digunakan untuk penyediaan dana operasional sekolah, maupun bagi guru dan karyawan di sebuah lembaga pendidikan.

Menurut dia, dengan keterlibatan lembaga pendidikan, atau secara kolektif, pembayaran angsuran kredit bisa dilakukan secara langsung, yaitu dengan memotong gaji nasabah yang dilakukan pihak bendahara sekolah.


Artikel 3

Judul:Diknas Benahi Sistem Pembiayaan Pendidikan

JAKARTA - Mendiknas Bambang Sudibyo mengemukakan, dalam jangka pendek pihaknya akan memprioritaskan pembenahan sistem pembiayaan dan peningkatan mutu pendidikan. ''Terkait dengan program 100 hari di bidang pendidikan, dalam jangka pendek kami akan memberikan prioritas pada pembenahan sistem pembiayaan pendidikan 20% dari anggaran belanja pusat dan daerah,'' ungkapnya kepada pers seusai halalbihalal di lingkungan Depdiknas, Selasa kemarin.

Dia mengatakan, pembiayaan pendidikan 20% memang seharusnya dipenuhi dari anggaran belanja dan bukan dari anggaran pendapatan. Selanjutnya, yang perlu dilakukan adalah menjabarkan anggaran pendidikan 20% tersebut sesuai dengan jalurnya.

Menurut pandangannya, sistem pembiayaan pendidikan harus ditata penggunaannya karena selain dana dari APBN/APBD, dana pendidikan bisa juga dipungut dari masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan. ''Dana yang bersumber dari APBN dan masyarakat, semua harus ada aturan bagaimana memungutnya, bagaimana menggunakan, kemudian bagaimana mempertangungjawabkannya.''

Dia menuturkan, pengaturan tentang pengelolaan pembiayaan pendidikan agar memiliki dasar hukum yang kuat perlu diatur setingkat peraturan pemerintah (PP) namun sebelum menjadi PP harus menjadi keputusan presiden dulu. ''Kalau ternyata bagus, stabil, dan bisa melayani masyarakat dengan baik, pengaturan sistem pembiayaan pendidikan bisa menjadi UU,'' ujarnya.

Mutu Pendidikan

Bambang mengungkapkan, mutu pendidikan bisa diukur dengan bermacam variabel, seperti kurikulum, silabus, metode pengajaran, dan standar kompetensi. ''Semua harus dikerjakan satu per satu dan tidak boleh tergesa-gesa. Kalau bisa kita temukan modelnya, bisa diperkuat status hukumnya dalam sebuah peraturan pemerintah,'' tuturnya.

Dia menyebutkan, antara pembiayaan dan mutu pendidikan saling terkait. ''Pembiayaan itu mesti didasarkan pada tingkat mutu tertentu, misalnya di Malaysia, biaya pokok untuk pendidikan tinggi Rp 18 juta per mahasiswa. Hal itu mengasumsikan tingkat mutu pendidikan di Malaysia seperti itu.''

Bila ingin kualitas pendidikan tinggi di Indonesia sama seperti di Malaysia, maka perlu dihitung berapa yang bersumber dari APBN, APBD, dan dana masyarakat serta memasukkan metode subsidi silang.

Mengenai akses pendidikan bagi masyarakat tidak mampu, Bambang menekankan, pembiayaan pendidikan oleh masyarakat bersifat sosial. ''Jangan sampai yang miskin dan pintar itu tidak bisa menikmati pendidikan terutama untuk program wajib belajar (wajar) karena mereka banyak yang tidak mampu,'' harapnya.

Pemerintah akan berupaya supaya daerah terbelakang mempunyai akses yang sama baik dengan daerah maju. ''Pemerintah akan mencari cara bagi peserta didik yang berasal dari Papua, punya akses ke sekolah yang baik di Pulau Jawa misalnya,'' katanya.

Pemerintah, sambungnya, berupaya agar sekolah favorit tidak hanya diisi oleh orang mampu di kota-kota saja. ''Kami cari sistemnya. Kami akan dorong setiap kabupaten mempunyai sekolah unggulan yang memang menjadi jagoannya.''

Dia mengakui, memang sulit membuat standar yang sama antara satu daerah dan daerah lain di Indonesia. ''Tidak mungkin semua bisa disamakan. Akan tetapi yang penting, bagaimana kita mengangkat standar mutu pendidikan dengan konsentrasi utama pada APBN/APBD,'' tandasnya.


Artikel 4
Judul:Apa Yang Salah Dalam Dunia Pendidikan Kita???

Hari Jumat tanggal 5 September yl, PATTIRO mengadakan diskusi serial mengenai ’Akuntabilitas Anggaran Pendidikan’ yang merupakan bagian dari serial diskusi program Brooking. Dihadiri pemerhati pendidikan beserta pembiayaannya, Abas Ghazali, Utomo Dananjaya, dan Ade Irawan, juga dari berbagai NGO pemerhati pendidikan plus peneliti PATTIRO program Brooking (Chitra, Ilham).

Dr Abas Ghazali memaparkan pola pembiayaan pendidikan hasil penelitiannya tahun 2004 (terlampir), kemudian Ade Irawan memaparkan Anggaran pendidikan mau dibawa kemana? (terlampir) Serta Chitra Hariyadi memaparkan tentang hasil temuan penelitian PATTIRO ( terlampir) mengenai akuntabilitas sistem dana pendidikan dalam desentralisasi, memastikan pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik dalam skema pembiayaan pendidikan.

Penelitian PATTIRO menggunakan metoda PETS (Public Expenditure Tracking Survey), di kota Serang dan Gresik, dari penelitian sekitar 137 sekolah dari 7 skema yang diteliti yakni DAK, Block Grant, BOS, BOS Buku, BOS Pendamping, Rehab APBD serta dana Dekon. Memperlihatkan bahwa skema2 pusat lebih efektif, yakni dana BOS serta DAK. Sementara dana-dana yang berasal dari daerah mengalami banyak kebocoran.

Beberapa hal yang ditemui di lapangan dari penelusuran tersebut ditemukan pola belanja dimana mandat skema yangyang diterima sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan utama, keterlambatan pencairan, potongan yang tidak wajar, penyimpangan cara penyaluran dibanding aturan, Belanja dilakukan tidak sesuai dengan peruntukan, pengurangan hasil/kualitas yang dibanding dengan harga dan rencana semula.

Rekomendasi berkisar di pemerintah pusat agar menyederhanakan jenis skema anggaran ke sekolah yang bertumpu pada rutin serta operasional dan memastikan keberlanjutannya melalui aturan yang kuat. Perbaikan mekanisme dan kepastian waktu penyaluran serta Pembuatan aturan dari pusat untuk mekanisme laporan standar.

Sementara untuk pemerintah daerah adalah mendorong partisipasi multistakeholder, legislatf, komite sekolah untuk mengawasi, juga mendorong pemberdayaan manajemen keuangan sekolah dan pelaporan yang baik. Serta yang utama membuat aturan yang memungkinkan dana didesakkan sesuai yang dibutuhkan oleh masyarakat dan sesuai tujuan yang telah utama alokasi dana tersebut.

Diskusi menghangat pada efektifitas belanja pendidikan serta PP 48/2008 yang masih membolehkan sekolah memungut dana siswa, juga mengenai pembagian kewenangan pusat, propinsi dan daerah yang sering tumpang tindih dalam hal pembiayaan pendidikan.


Artikel 5

Judul:Pemerataan Pendidikan

Kita patut bersyukur jika pendidikan dasar sembilan tahun dapat diakses gratis seluruh masyarakat seperti dinyatakan Sekretaris Jenderal Depdiknas (Kompas, 21/2/2009).

Pemerataan pendidikan menjadi salah satu cita-cita bangsa. Berbagai undang-undang disahkan dan dana dialokasikan untuk cita-cita itu. Namun, berbagai pernyataan jaminan negara atas pendidikan itu tak lebih retorika.

Menguatnya komitmen pemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum diimbangi langkah nyata meningkatkan pemerataan akses dan mutu yang bebas dari tekanan dan basa-basi politik. Dalam praktek, perwujudan pemerataan pendidikan tidak hanya memerlukan undang-undang dan dana. Apa permasalahan pemerataan pendidikan sekarang?

Miskonsepsi

Hambatan utama pemerataan justru pada konsep ”gratis” yang menggerus kemandirian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dan melambungkan harapan rakyat tentang jaminan negara. Faktanya, hingga 63 tahun kemerdekaan, negara belum pernah mampu (dan bersedia) menanggung cuma-cuma seluruh biaya pendidikan rakyat.

Masalahnya bukan hanya sejauh mana pendidikan benar-benar ”gratis” atau bagaimana mengatasi aneka masalah teknis penyaluran dana bantuan operasional, tetapi konsep pendidikan gratis telah mencuri prinsip kemandirian warga sebagai inti kemerdekaan politik dan mengalihkannya kepada ”niat baik” para pemegang amanat rakyat.

Sayang, tidak selamanya pemegang amanat rakyat melaksanakan ketentuan pembiayaan pendidikan. Misalnya, UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menyatakan, pemerintah pusat dan daerah menanggung seluruh biaya pendidikan SD-SMP (Pasal 41 ayat 1). Tetapi Mendiknas bersikeras pemerintah hanya menanggung biaya operasional (Kompas, 24/2/2009).

Artinya, saat warga terbuai mimpi pendidikan tanpa biaya, pewujudannya kian jauh dari jangkauan kekuatan mereka. Harapan telanjur digantungkan pada elite negara yang selalu menegaskan jaminan perundang-undangan atas pendidikan rakyat. Tetapi kita tahu, elite negara sebagai politikus bertindak berdasar naluri kepentingan, bukan keberpihakan substansial.

Dengan kata lain, meski pemerataan pendidikan adalah kebijakan negara, implementasinya amat tergantung kebijaksanaan penguasa berdasar kepentingan politik mereka. Dalam konteks itu, konsep ”gratis” telah memasung dan mematikan inisiatif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sejak dulu, sebelum negara ini ada.

Pemerintah daerah

Di sisi lain, pemerataan pendidikan terhambat kesadaran rendah para pemimpin daerah. Otonomi melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah.

UU BHP, misalnya, memberi kewenangan pemerintah daerah mengatur penyelenggaraan SD, SMP, dan SLTA (Pasal 21). Konsekeunsinya, tanggung jawab pembiayaan yang besar juga harus dipikul pemerintah daerah.

Dalam konteks SD-SMP seperti diatur Pasal 41, masih harus ditegaskan berapa yang harus ditanggung pemerintah pusat (60 persen) dan 40 persen pemerintah daerah. Yang jelas, pemerintah daerah juga diwajibkan menanggung minimal 1/3 biaya operasional SLTA.

Itu semua adalah ketentuan di atas kertas. Prakteknya, pewujudan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan pendidikan amat tergantung komitmen dan niat pemimpin setempat. Warga Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana dan Kota Yogyakarta, beruntung karena pemimpin mereka berusaha keras memenuhi tanggung jawab pembiayaan pendidikan.

Namun di berbagai tempat lain, ketentuan dan janji pembiayaan pendidikan justru membuat warga kecewa. Di Papua misalnya, gedung sekolah yang dibangun atas dana pemerintah pusat, selama enam bulan setelah diresmikan masih kosong tanpa kegiatan belajar-mengajar. Menurut pejabat setempat, itu karena pemerintah pusat hanya menyediakan gedung, meja-kursi, dan tidak membayar gaji guru, yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah.

Menyesatkan publik

Otonomi pembiayaan pendidikan juga berpotensi menyesatkan publik. Janji pendidikan gratis dalam kampanye para calon kepala daerah dan caleg, adalah contoh politisasi vulgar yang berakibat tragis. Di Lampung, sejumlah guru terdorong berutang karena kampanye pilkada menjanjikan pelunasan utang jika calon tertentu terpilih.

Kasus-kasus itu menunjukkan variasi pemaknaan dan implementasi otonomi pembiayaan pendidikan karena kesadaran yang berbeda antardaerah.

Karena itu, monitoring implementasi komitmen daerah penting dilakukan. Secara keseluruhan, kembali ke agenda penguatan civil society adalah jalan paling cerdas untuk mencegah rakyat dari ambivalensi politik elite negara dalam mewujudkan pemerataan pendidikan.

SARANA PENDIDIKAN

Artikel 1
Judul:SARANA PENDIDIKAN DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN GURU HARUS MENDAPAT PERHATIAN

Pengembangan sarana pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru serta pelaksanaan kurikulum berbasis Kompetensi adalah tiga dari sekian banyak hal yang memerlukan perhatian semua pihak. ?Untuk memajukan ketiga hal tersebut kita tidak dapat bekerja sendiri. Oleh karena itu perlu bantuan dan dukungan serta partisipasi aktif dari masyarakat termasuk para orang tua murid, ?ujar Ny. Hj. Fauziah Diani Boediarto selaku Ketua umum yayasan Pertiwi dan Dharma Rini pada acara Silaturahmi dan perkenalan dengan seluruh jajaran pengurus yayasan Dharma Pertiwi dan Dharma Rini di SD Pertiwi Sukasari Bogor Timur, Kota Bogor, Jum?at (30/4) lalu.

Namun, kata Ny. Diani, kita harus optimis bahwa semua komponen termasuk komite Sekolah dan para orang tua murid akan senantiasa mengulurkan tangan untuk bekerjasama menghasilkan hal-ha yang terbaik bagi kepentingan anak-anak didik kita. Bagi, saya pribadi, sesungguhnya keberadaan kedua yayasan ini, tidaklah asing.Walaupun selama ini saya mengenalnya dari Jauh, Namun, saya mengetahui bahwa dibawah kepemimpinan Ibu Sewu Muthia Iswara dalam kurun lima tahun terakhir telah banyak memperlihatkan kemajuan dan prestasi, ?tuturnya.

Buktinya, menurut Ny. Diani dibawah kepemimpinan Ibu Sewu SD Pertiwi telah berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang berkualitas dan berwibawa dengan berbagai perestasi baik di tingkat Kota Bogor maupun Jawa Barat. ?Keberhasilan itu tidak terlepas dari dukungan dari pengurus yayasan, kepala sekolah, para guru serta komite sekolah dan para orang tua murid.

Menurut dia, selama ini semua pihak telah bekerja keras untuk memberikan dukungan bagi kemajuan sekolah ini, sehingga hal itulah yang diharapkan akan tetap terpelihara dengan baik, dimasa mendatang.?Saya yakin bahwa prestasi yang diperoleh selama ini, masih dapat ditingkatkan lagi untuk memperkuat peranan nyata SD Pertiwi dan SLB (Sekolah Luar Biasa) Dharma Wanita Bogor dalam mendukung usaha meningkatkan mutu pendidikan di Kota Bogor, ?ungkapnya.

Lebih lanjut Ny, Hj. Fauziah Diani mengajak semua pihak untuk terus meningkatkan semangat pengabdian pada seluruh pelaksanaan program kerja yayasan di tahun- tahun mendatang. ? Kita harus yakin apapun yang dapat diberikan untuk kemajuan dunia pendidikan melalui yayasan ini, akan menghasilkan manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, karena melalui kegiatan di yayasan semata-mata untuk mengabdi kepada kepentingan kemanusian, katanya.


Artikel 2
Judul:Jangan Gunakan Sarana Pendidikan Untuk Berkampanye Politik
Saat ini marak sekali politisi ataupun para calon-calon mulai dari calon peserta pilkada…calon partai politik sampe dengan calon ngk jelas saling berlomba-lomba memajang dan pasang muka serta aksi dimedia-media tanah air. hanya 1 tujuan mereka, hanya 1 kata, hanya itu yang mereka harapkaan..”popular”. ya media memegang pengaruh penting untuk para calon politisi itu untuk meraup banyak pendukung dan memperoleh popularitas yang tinggi dengan harapan mereka akan menjadi peserta yang dipilih oleh banyak orang.salah satu materi yang tak pernah dilupakan para politisi dalam berkampanye dimedia adalah hal pendidikan. Mulai dari modeliklan anak-anak SD, SMP bahkan SMA serta tak lupa bangunan pendidikan. Mungkin pada jaman ini, pendidikan merupakan salah satu daya terik yang diperhitungkan. Muai dari kampanye akan pengadaan pendidikan gratis…pemerataan pendidikan hingga ini itu mengenai pendidikan.

Salah satu contoh nyata adalah, kala kampanye salah satu calon gubernur di Jawa TImur entah siapa waktu itu calonnya, dimana pihak tim sukses mengadakan acara dangdut tapi apa yang datang malah siswa sekolah. Jelas saja hal seperti ini tidak memberikan persepsi untuk dunia pendidikan.

Ada baiknya, kalau ingin berkampanye sebaiknya materi nya dipertimbangkan dahulu. Boleh-boleh saja berjanji akan memberikan pendidikan gratis, atau sarana pendidikan diperbaiki bahkan sampai kesejahteraan guru yang akan ditingkatkan. Namun janji jangan hanya janji siapa berjanji harus ditepati


Artikel 3
Judul:Pengembangan Hutan Kota Sebagai Sarana Pendidikan Guna Mengembangkan Kecerdasan Pelajar
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini banyak sekali kota yang masih belum memiliki hutan kota. Ada juga kota yang sudah memiliki hutan kota tapi belum bisa merawat dan melestarikannya. Banyak sekali orang-orang yang melupakan hutan kota. Bahkan ada juga kota yang tidak bisa memanfaatkan hutan kotanya dengan baik, bahkan sebaliknya menggunakan hutan kota tidak sebagaimana semestinya seperti membuang sampah sembarangan di hutan kota, merusak fasilitas yang ada di sana, dan lain-lain. Ada beberapa contoh dari perusakan hutan kota akibat dari ketidakpedulian masyarakat kota terhadap kelestarian hutan kota yaitu di hutan kota dan taman yang dibuat Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang banyak yang dirusak warga. Hutan kota di Cikokol seluas satu hektar, misalnya, pagarnya sudah dibobol dan areal hutan dijadikan jalan pintas. Taman di Jalan TMP Taruna seluas 6.100 meter persegi setiap pagi dijadikan lokasi pembuangan sampah. Bahkan, lampu-lampu hias taman banyak yang dijarah. Taman Pujalidane di tepi Kali Cisadane, yang dijadikan taman bermain anak, juga sudah tak terawat lagi. Bangku-bangku yang ada sudah lenyap tanpa bekas. Pot-pot bunga yang ditaruh di jalan umum, antara lain di Jalan Ki Samaun, banyak yang dicuri, kalaupun ada yang tersisa, sudah dijadikan tempat sampah. (Kompas, 27 Maret 2003). Kondisi ini sangat memprihatinkan sekali, fakta yang terjadi pada hutan kota di Indonesia. Padahal Pemkot Tangerang membuat hutan kota sebagai penyeimbang agar kota ini tidak gersang. Masyarakat kota membutuhkan ruang terbuka hijau karena kota ini merupakan kota industri yang dikepung ribuan pabrik. Janganlah hal ini terjadi lagi di kota-kota lain di Indonesia. Lestarikan dan rawatlah hutan kota dengan sebaik-baiknya karena hutan kota memiliki banyak manfaat untuk penduduk kota yaitu sebagai sarana pengembang kecerdasan anak, mengurangi polusi udara, banjir, dan lain-lain. Dalam hal ini diharapkan setiap kota memiliki hutan kota sendiri agar manfaat hutan kota dapat terealisasikan dengan baik sekaligus dapat memperindah kota tersebut.

Hutan kota dapat memberikan kota yang nyaman sehat dan indah (estetis). Kita sangat membutuhkan hutan kota, untuk perlindungan dari berbagai masalah lingkungan perkotaan. Hutan kota mempunyai banyak fungsi (kegunaan dan manfaat). Hutan kota merupakan suatu ekosistem dan tidak sama dengan pengertian hutan selama ini. Definisi hutan menurut undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan menurut Zoer'aini Djamal Irwan, dosen Universitas Trisakti Jakarta, hutan kota adalah komunitas tumbuh-tumbuhan berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis.

Namun, ada beberapa kendala dalam pembangunan hutan kota. Menurut Zoer’aini Djamal Irwan (2005: 16) dalam buku Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota , kendala-kendala tersebut meliputi lahan untuk hutan kota semakin berkurang, semakin mahalnya lahan di kota, adanya perebutan kepentingan dalam penggunaan lahan di kota, persepsi tentang hutan kota belum berkembang, sementara masyarakat masih ada yang menganggap bahwa pembangunan hutan kota tidak menguntungkan. Dengan melihat fungsinya maka kita harus membangun dan mengembangkan hutan kota. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa dengan membangun dan mengembangkan bentuk hutan kota serta membangun dan mengembangkan struktur hutan kota, maka kendala lahan dapat di modifikasi sehingga kita akan tetap dapat membangun dan mengembangkan hutan kota. Di samping itu secara bertahap kita selalu berusaha membangun dan mengembangkan persepsi tentang hutan kota.
Sekarang kita akan berbicara tentang fungsi hutan kota menurut Irwan (2005: 66 – 78) dalam buku Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota, hutan kota memiliki tiga fungsi utama, antara lain: 1. Fungsi lansekap. Fungsi lansekap meliputi fungsi fisik dan fungsi sosial.
a. Fungsi fisik, yaitu berfungsi antara lain untuk perlindungan terhadap angin, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan terhadap bau, sebagai pemersatu, penegas, pengenal, pelembut, dan pembingkai.
b. Fungsi sosial. Penataan tumbuh-tumbuhan dalam hutan kota dengan baik akan memberikan tempat interaksi sosial yang sangat menyenangkan. Hutan kota dengan aneka ragam tumbuh-tumbuhan mengandung nilai-nilai ilmiah sehingga hutan kota dapat sebagai laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan misalnya untuk terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olah raga, dan tempat interaksi sosial lainnya. Fungsi sosial politik ekonomi misalnya untuk persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memberikan hasil tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan penduduk seperti buah-buahan, kayu, obat-obatan sebagai warung hidup dan apotek hidup.2. Fungsi pelestarian lingkungan
  • Menyegarkan udara atau sebagai paru – paru kota
  • Menurunkan suhu kota dan meningkatkan kelembaban
  • Sebagai ruang hidup satwa
  • Penyangga dan pelindung permukaan tanah dan erosi
  • Mengendalikan dan mengurangi polusi udara dan limbah
  • Peredam kebisingan dan menyuburkan tanah
3. Fungsi estetika (keindahan)
Tetapi dalam hal ini kita akan membahas tentang fungsi hutan kota sebagai sarana pendidikan guna mengembangkan kecerdasan para pelajar. Kita dapat memanfaatkan hutan kota sebagai sarana penelitian tentang tumbuh-tumbuhan serta aneka satwa sekaligus memperkenalkan beragam jenis tumbuhan dan satwa kepada para pelajar. Di samping itu kita bisa membangun perpustakaan umum gratis di dalam hutan kota untuk memperdalam wawasan/pengetahuan pengunjung tentang hutan serta laboratorium perkembangbiakan tanaman dan hewan sehingga para pelajar dapat melakukan percobaan/penelitian tentang perawatan tanaman dan satwa sehingga mereka dapat mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk anak-anak dapat dibangun taman bermain guna melatih kecerdasan kinestetik anak. Selain itu, dapat diberi fasilitas-fasilitas outbond yang kini banyak digandrungi oleh pelajar untuk melatih softkill yang mereka miliki seperti team work, team building, manajemen organisasi, leadership serta penghilang stress dan masih banyak lagi. Fasilitas-fasilitas tersebut misalnya kolam yang tidak airnya yang diatasnya ada bambu panjang yang akan digunakan untuk menyeberangi kolam untuk melatih keseimbangan dan konsentrasi, tali yang berada di antara pohon yang digunakan untuk meniti tali atau untuk flying fox guna melatih keberanian dan kepercayaan diri, disusun balok-balok kayu yang pendek yang atasnya diberi tali untuk melakukan gerakan merayap berguna melatih kehati-hatian dan kesabaran dalam bertindak, lahan kosong untuk berbagai permainan outbond, dan lain-lain. Banyak sekali sekolah-sekolah maupun universitas yang memerlukan fasilitas outbond seperti ini untuk latihan dasar kepemimpinan, outbond motivasi dan kerjasama, ospek mahasiswa, bahkan digunakan outbond oleh para pegawai perkantoran/perusahaan untuk meningkatkan kinerja para pekerjanya. Dengan adanya fasilitas outbond yang ada dalam kota mereka tidak perlu susah-susah mencari tempat outbond di luar kota yang memerlukan biaya yang cukup banyak, cukup di dalam kota dengan biaya yang cukup rendah bahkan bisa digratiskan tergantung kebijakan masing-masing pemerintah kota. Hutan kota pun dapat dikunjungi oleh semua orang. Dengan demikian sarana pendidikan yang ada di hutan kota dapat dioptimalkan dengan sebaik-baiknya. Sehingga kecerdasan pelajar baik mental maupun fisik dapat dikembangkan dengan sempurna. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Gardner, profesor bidang pendidikan di Universitas Harvard, tentang 8 jenis kecerdasan yaitu: 1. Kecerdasan Verbal - Linguistik Kemampuan menggunakan perkataan secara berkesan sama ada secara lisan atau tulisan, termasuk – kebolehan memanipulasikan ayat, gaya bahasa dan pengucapan dengan baik dan sempurna. Contoh aktifitas: perbahasan, perbendaharaan kata, ucapan formal, penulisan kreatif, bacaan, jurnal, diari, puisi, jenakaan bercerita. 2. Kecerdasan Logik - Matematik Kebolehan menggunakan nombor, menaakul, mengenal pasti pola abstrak, perkaitan, sebab dan akibat (logik). Melibatkan pemikiran saintifik, termasuk pemikiran secara heuristik, induktif dan deduktif, membuat inferens, mengkategori, generalisasi, perhitungan dan pengujian hipotesis. Contoh aktifitas: penggunaan simbol, rumus, urutan nombor, pola abstrak, perkaitan sebab dan akibat (logik), penyelesaian masalah, pengurusan grafik dan pengiraan. 3. Kecerdasan Fisikal - Kinestetik Berkaitan dengan pergerakan dan kemahiran fisikal seperti koordinasi, keseimbangan dan kelenturan badan. Menggunakan anggota badan untuk meluahkan idea dan perasaan. Contoh aktifitas: tarian kreatif, drama, main peranan, aktifitas jasmani, latihan fisikal, dan seni pertahanan iri. 4. Kecerdasan Visual - Spasial Kebolehan mencipta gambaran mental dan mengamati dunia visual. Berkepekaan terhadap warna, garis, rentuk dan ruang. Berkebolehan menvisual secara spatial dan mengorientasi diri dalam matriks ruang. Contoh aktifitas: melukis, mengecat, skema warna, garis rentuk dan ruang, mencipta gambaran mental, imaginasi aktif, peta minda, menvisual secara spasial dan mengorientasi diri dalam matriks ruang. 5. Kecerdasan Musikal - Ritme Kemampuan untuk menggemari, mendiskriminasi dan meluahkan perasaan melalui musik. Kecenderungan ini termasuk kepekaan terhadap ritme, melodi atau kelangsingan suatu hasil musik. Contoh aktifitas: persembahan musik, bunyi vokal, bunyi instrumental, nyanyian dan drama lagu. 6. Kecerdasan Intrapersonal Berpengetahuan sendiri dan berkebolehan untuk menilai diri sendiri. Mempunyai gambaran yang tepat tentang diri sendiri, kesadaran terhadap mood, kehendak, motivasi, kemarahan, dorongan dan kemampuan untuk mendisiplinkan diri dan jati diri. Contoh aktifitas: teknik metakognisi, strategi pemikiran, proses emosi, praktik mind fullness, perilaku tahap tinggi, disiplin diri, dan amalan pemusatan. 7. Kecerdasan Interpersonal Kemampuan untuk mendiskriminasi antara pelbagai petanda interpersonal dan kebolehan untuk berkomunikasi dengan berkesan secara pragmatik terhadap petanda tersebut. Contoh aktifitas: komunikasi antara individu, latihan empati, latihan kolaboratif, strategi pembelajaran kooperatif dan bekerja sama 8. Kecerdasan Naturalis
Mengenali, menyusun dan mengkategorikan pelbagai jenis flora dan fauna.

Oleh karena itu, dengan adanya sarana pendidikan seperti itu, secara tidak langsung kita membantu pendidikan di dalam kota dengan meningkatkan delapan kecerdasan yang dimiliki oleh setiap pelajar. Dan hutan kota dapat dijadikan sebagai wisata pembelajaran (study tour) oleh sekolah-sekolah maupun universitas dalam kota untuk mengembangkan kemampuan pembelajaran anak didiknya. Sekaligus dengan adanya fasilitas semacam ini dapat menghemat keuangan lembaga pendidikan dalam mengadakan study tour untuk para pelajarnya.


Artikel 4
Judul:Sarana Pendidikan di AUSTRALIA Kian
Menin
KabarIndonesia - Australia telah mengembangkan suatu kerangka kurikulum nasional, untuk memastikan standar-standar akademik yang tinggi di seluruh Australia.

Semua sekolah menyediakan mata pelajaran dalam delapan bidang pelajaran utama yaitu Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Kemasyarakatan dan Lingkungan Hidup, Sains, Kesenian, Bahasa selain bahasa Inggris, Teknologi dan Pengembangan Pribadi, Pendidikan Kesehatan dan Jasmani.

Di tingkat menengah, sekolah-sekolah dapat menawarkan berbagai macam pilihan mata pelajaran, yang disampaikan oleh para pengajar yang amat terlatih dan berpengalaman, serta mempergunakan teknologi yang sangat canggih dan mutakhir termasuk Internet, bahan-bahan CD-ROM, peralatan multimedia dan laboratorium.

Banyak siswa yang menggunakan program studi menengah atas, untuk mencapai kualifikasi yang diperlukan untuk masuk ke universitas. Sekitar sembilan dari setiap sepuluh sekolah menengah Australia juga menawarkan program-program studi kejuruan di samping kurikulum sekolah standar.

Selain itu, kurikulum sekolah di Australia mencakup berbagai ketrampilan dan peminatan siswa. Drama, musik, kesenian, ketrampilan berdebat dan pidato, serta kegiatan olahraga tim maupun perorangan, semuanya ditingkatkan melalui kerjasama dan kompetisi antar sekolah.

Dengan suatu sistem sekolah di Australia, yang menyampaikan pelatihan kejuruan yang praktis dan sekaligus berorientasi pada karier, siswa mencari pekerjaan dengan menyadari bahwa ketrampilan-ketrampilan mereka dibutuhkan oleh para pengguna jasa.

Di sini tersedia penasihat siswa internasional, yang akan membantu mengambil keputusan yang matang tentang di tingkat mana anak dapat masuk ke sistem sekolah di Australia.

Tahun akademik sekolah di Australia dibagi menjadi empat periode dan berlangsung mulai akhir Januari sampai Desember. Antara tipa periode tersebut ada liburan pendek dan ada liburan panjang musim panas pada bulan Desember dan Januari.


Artikel 5
Judul:

Pengadaan Sarana Pendidikan Diduga Digelembungkan

Samarinda, Kompas - Daftar usulan kegiatan (DUK) Kota Samarinda tahun 2003 diduga diwarnai upaya penggelembungan nilai sejumlah proyek pengadaan dari Dinas Pendidikan setempat secara tidak wajar.

Sebagai contoh untuk merehabilitasi 15 pintu SLTP Negeri 19 Samarinda diusulkan sebesar Rp 75 juta, sedangkan pengadaan 20 unit komputer di SLTP Negeri Samarinda diusulkan sebesar Rp 1,5 milyar.

Demikian diungkapkan Helen Suyatno dari Pokja 30 di Samarinda, Kamis (23/1). Pokja 30 adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Samarinda yang mencermati hal-hal yang berkait dengan penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) maupun realisasi penggunaan dana dari APBD di sejumlah daerah di Kalimantan Timur (Kaltim).

Pengajuan usulan yang seperti itu, menurut Helen, sangat jelas menunjukkan adanya upaya mark up yang keterlaluan. Satu daun pintu, misalnya, dihargai Rp 5 juta, sedangkan satu unit komputer dihargai Rp 75 juta.

Malah, "Pengadaan satu unit mesin tik elektronik SMKN 9 Samarinda juga dianggarkan sebesar Rp 75 juta," katanya. Helen kemudian membandingkan pengadaan 40 unit mesin tik di SMK Muhammadiyah I Samarinda Ilir yang diusulkan Rp 70 juta atau Rp 1.750.000 per unit.

Secara terpisah, anggota DPRD Kota Samarinda, Yayan Aliyansah secara tegas menyatakan akan menolak anggaran yang tidak masuk akal tersebut jika pihak eksekutif nekad mengajukannya dalam RAPBD 2003. "Jelas kita punya acuan yang wajar atas proyek yang diselenggarakan. Dalam hal ini tentu kelihatan ketidakwajaran usulan harga pengadaan barang-barang untuk kepentingan pendidikan itu," tegas Yayan.

Sementara itu, Sekretaris Kota Samarinda HM Saili menyatakan bahwa usulan tersebut belum masuk dalam RAPBD. "Ketidakwajaran dalam usulan proyek tentu akan terpantau oleh instansi terkait sehingga dapat dicegah kemungkinan adanya penggelembungan harga," katanya.

RAPBD 2003 Kota Samarinda diusulkan sebesar Rp 657,907 atau meningkat dibanding tahun lalu sebesar Rp 605,363 milyar. Sebagian besar anggaran tersedot untuk pengeluaran rutin di kota yang menanggung beban karena kelebihan pegawai hingga 5.000 orang lebih.

Tidak Patut

Apa pun alasannya, kata Helen, pengajuan usulan yang sangat jelas mengindikasikan adanya penggelembungan seperti itu sangatlah tidak patut. Sebab, dalam penyusunan RAPBD semestinya ada acuan penentuan harga dalam mengajukan usulan anggaran. "Tampaknya norma tersebut diabaikan," katanya.

Helen menambahkan, pengadaan komputer di sekolah-sekolah yang masih dinilai wajar pun sebenarnya masih membingungkan karena terjadi selisih perbedaan harga. Sebagai contoh, pengadaan satu unit komputer untuk MTs Antasari Samarinda dianggarkan Rp 20 juta. Sedangkan di SLTPN 20 Samarinda dianggarkan Rp 17 juta.

Untuk itu, Pokja 30 bahkan sudah mengadakan survei harga ke sejumlah distributor komputer di Samarinda. Hasilnya, harga komputer dengan fasilitas paling lengkap pun tak sampai sebesar usulan itu

TENAGA KEPENDIDIKAN

Artikel 1
Judul:BSNP

Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:

  • Kompetensi pedagogik;
  • Kompetensi kepribadian;
  • Kompetensi profesional; dan
  • Kompetensi sosial.


Pendidik meliputi pendidik pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan.

Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah.
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 25 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 27 Tahun 2008 tentang Standar Kulifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.

Artikel 2
Judul:Tantangan UNY Sebagai Penghasil Tenaga Kependidikan
MASIHKAH Universitas Negeri Yogyakarta dipercaya sebagai penghasil tenaga kependidikan? Di sisi lain, kita bisa bertanya apakah masih dibutuhkan guru di negeri kita? Pada suatu saat, bisa saja masyarakat tidak menaruh kepercayaan, karena ada yang lepas dari harapan. Pada saat itulah, barangkali, tantangan mulai menghadang. Tantangan itu terasa kian besar, ketika masyarakat ternyata masih sangat membutuhkan guru. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) juga sangat mungkin menghadapi tantangan semacam itu.
Apa yang bisa kita harapkan dari sebuah lembaga pendidikan penghasil tenaga kependidikan, jika bukan kualitas? Orang-orang selalu mencari sekolah yang bagus, mencari perguruan tinggi yang bermutu, agar lembaga pendidikan itu bisa mengantarkan anak-anak didiknya, anak-anak asuhnya, mahasiswa-mahasiswanya menjadi lulusan yang terhormat, memiliki kualitas, bukan lulusan yang ecek-ecek. Apabila yang kita harapkan adalah tenaga kependidikan juga kita harapkan yang punya nilai, sehingga di masyarakat tidak terpinggirkan posisinya.
Dr Rochmat Wahab MA pernah mengeluhkan, mengapa secara historis pada awal kemerdekaan posisi guru sangat terhormat. Akan tetapi pada zaman Orde Baru posisinya cenderung terpinggirkan? (Kedaulatan Rakyat, 25 November 2008). Keluhan itu kiranya sangat wajar terjadi jika oknum guru tidak bisa menjaga martabatnya. Sebab, guru bermartabat bisa mengantarkan dirinya memiliki kepercayaan yang besar.
Tentu, kita tidak menginginkan posisi guru jatuh martabatnya. Di segala zaman, guru hendaknya bisa menyesuaikan dan selalu dibutuhkan masyarakatnya. Sebagaimana kesadaran seorang kaisar Jepang sesudah negerinya hancur lebur karena bom atom, menanyakan masih adakah guru yang hidup. Apa jadinya jika sudah tidak ada lagi guru? Kepada siapa generasi kita dipercayakan untuk mendapatkan ilmu, teladan, juga harapan untuk bisa merampungkan persoalan secara bijak?
Benarkah sekarang ini kita menyadari perlunya guru, perlunya tenaga kependidikan yang bermartabat? Jika disadari bahwa tantangan ke depan justru semakin besar dan bukan semakin kecil, maka satu-satunya lembaga yang bisa kita andalkan adalah lembaga pendidikan. Tentu saja lembaga pendidikan yang mampu menghasilkan tenaga kependidikan. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan seperti UNY yang menjelma dari semula Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta, barangkali akan menjadi taruhan. Semua mata akan mengarahkan pada lembaga tersebut dengan sejumlah harapan.
***
MASIHKAH universitas seperti UNY dipercaya sebagai penghasil tenaga kependidikan? Bukan sekadar tenaga kependidikan yang asal lulus, tetapi yang memiliki martabat dan pribadi unggul. Kita berharap masyarakat tidak berpaling dari lembaga pendidikan yang bisa memberi jaminan semacam itu.
Namun pada kenyataannya, di negeri ini tidak cuma UNY yang eksis. Di Yogyakarta bahkan sudah muncul pesaing-pesaing lembaga pendidikan penghasil tenaga kependidikan. Ada yang menyadari bahwa persaingan antarlembaga pendidikan itu ketat, maka masing-masing penyelenggara tidak akan main-main. Seringkali kepercayaan masyarakat pada lembaga pendidikan bisa diukur dari banyaknya mahasiswa yang menyerbu dan memilih.
Merusak institusi pendidikan, memang mudah sekali. Akan tetapi membangun citra lembaga agar memperoleh kepercayaan dari masyarakat tidak bisa dilakukan sehari atau dua hari. Bahkan harus dilakukan bertahun-tahun, dengan konsep yang berkali-kali disesuaikan dengan perkembangan. Padahal, sekali merusak, hanya karena tak mampu memahami peran lembaga pendidikan, akan menghancurkan seluruh komponen yang ada.
Misalnya menipu mahasiswa dengan janji palsu atau menjerumuskan peserta didik dengan kualitas palsu, adalah bentuk-bentuk perusakan citra lembaga. Perilaku yang tidak mendidik yang dilakukan komponen lembaga pendidikan, juga bisa menyeret pencitraan. Padahal, perilaku semacam itu bisa dilakukan di luar kampus. Barangkali, dibutuhkan pemahaman yang sangat besar mengenai perlunya tantangan itu dihadapi dan bukannya disingkiri. Dicarikan formula-formula edukatif, yang tetap mampu mempertahankan pencitraan lembaga, betapa pun sudah begitu banyak lembaga pendidikan tenaga kependidikan serupa yang secara kreatif tumbuh di sekitar kita.
Tentu, tujuan dibangunnya lembaga pendidikan tenaga kependidikan semacam UNY, adalah untuk mengantarkan calon-calon tenaga-tenaga kependidikan itu memperoleh martabat yang bisa dibanggakan di masa depan. Selalu saja ada tantangan yang menghadang. Sebab, dalam sistem pendidikan dibangun oleh tangan-tangan yang punya banyak kepentingan. Oleh sebab itu, semuanya harus bisa diatasi. Bukan sebaliknya, tak pernah memikirkan martabat dan mengatasi tantangan. Jika yang terakhir itulah yang terjadi, kiranya sebuah lembaga pendidikan telah mengalami kegagalan. q - m. (484-2009).



Artikel 3
Judul:Kontroversi Tenaga Kependidikan dan Tenaga Pendidik
PROFESI pendidik - khususnya guru dan dosen - menjadi sorotan menyongsong sertifikasi. Sertifikasi merupakan keharusan bagi pendidik untuk mengetahui kecakapan, tingkat mutu dan profesionalitas sehingga akan dihasilkan pendidik yang berkualitas. Dan pendidik yang berkualitas merupakan salah satu indikator dalam penjaminan mutu pendidikan.

Pendidik ibarat sopir yang bertugas mengangkut dan mengantar penumpang sampai kepada tujuan yang diharapkan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai seorang sopir sudah sewajarnya membutuhkan SIM (Surat Ijin Mengemudi) yang merupakan syarat wajib profesi ini.

Para penumpang tentu akan merasa tenang dan nyaman jika sopir telah memenuhi segala persyaratan yang telah diujikan. Tetapi sebaliknya jika sopir belum dan/ atau tidak mempunyai SIM apalagi sama sekali tidak lihai mengemudi maka penumpangnya akan cemas dan bingung akan diapakan dan dikemanakan.

Di masa mendatang pendidik diwajibkan mempunyai "SIM" (Surat Ijin Mengajar) yang hanya dapat dimiliki setelah lulus sertifikasi. Diharapkan dengan sertifikasi pendidik mampu mengantarkan penumpang sampai kepada tujuan dengan selamat dan memuaskan.



Peran Tenaga Kependidikan

Jika pendidik yang diibaratkan sebagai sopir yang telah mempunyai keahlian menyetir lantas apakah kemudian perjalanan (pendidikan) akan begitu saja terjamin keselamatannya? Ternyata tidak. Setidaknya kita harus memperhatikan kondisi mobil juga. Mulai dari hidup-tidaknya lampu sorot, berfungsi-tidaknya rem, bagus-tidaknya kondisi ban dan yang paling penting ketersediaan bahan bakar dan keadaan olinya.

Semua kelengkapan mobil itu yang selanjutnya dianalogikan sebagai tenaga kependidikan. Sopir dan kelengkapan mobil menjadi satu jiwa utuh dalam membawa penumpangnya menjadi lebih aman dan terjamin. Tenaga kependidikan sebagai penunjang inilah yang perlu menjadi perhatian sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 1 bahwa (peran) tenaga kependidikan adalah penunjang penyelenggaraan pendidikan.

Adilkah jika selama ini penilaian keberhasian pendidikan hanya diukur dari faktor pendidik (guru dan dosen) saja? Menurut hemat penulis, penilaian kesuksesan pendidikan seharusnya dilihat dari berbagai sudut pandang. Mulai dari pengaturan jadwal pembelajaran yang teratur, kelengkapan sarana-prasarana sekolah yang memadai dan memenuhi standar, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekolah yang selalu terjaga, manajemen sekolah yang tegas serta supervisi yang ketat. Semua faktor itu adalah peran strategis tenaga kependidikan, apakah itu staf TU, pustakawan, laboran, pesuruh/ penjaga sekolah, pengawas sekolah dan kepala sekolah.

Tetapi sayangnya saat ini tenaga kependidikan belum diperhatikan sebagaimana pendidik. Suatu keprihatinan jika keduanya yang merupakan tenaga profesional dan juga berperan dalam peningkatan mutu pendidikan tidak disamakan. Pendidik - khususnya guru dan dosen - terkesan superior dan "dimanjakan" dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sedangkan tenaga kependidikan sampai saat ini pun belum mempunyai payung hukum yang menangani dan mengatur mereka secara jelas.

Disadari peningkatan mutu pendidikan masih memprioritaskan guru dan dosen sebagai kemudi pendidikan. Bisa jadi pemerintah masih menganggap peran pendidik yang dominan sebagai ujung tombak pendidikan. Tetapi apakah hanya dengan mengandalkan guru dan dosen saja pendidikan akan segera bermutu? Ibarat kesatuan sopir dan kelengkapan mobil tadi. Jika sopirnya lihai tetapi remnya blong, maka keselamatan tidak akan terjamin. Kalaupun sopirnya lihai tetapi lampu sorotnya mati, maka tidak akan bisa berjalan dengan tenang di malam hari.

Peningkatan mutu pendidikan seharusnya tidak boleh "menganak-emaskan" salah satu profesi. Karena profesi yang lain juga mempunyai peran untuk ikut andil menuju terciptanya pendidikan yang bermutu.


Artikel 4
Judul:Kegunaan Sertifihasi bagi Tenaga Kependidikan

Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward linkage) dan kaitan kebelakang (Backward linkage). Forward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Backward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat. Demikian diutarakan oleh dr. Fasli Jalal, Phd seperti diutarakan di website Sertifikasi Guru.

Berangkat dari pendapat di atas, Yayasan Pendidikan Katolik khususnya di Yayasan Don Bosco Banjarmasin dan Yayasan Pendidikan Siswarta Palangka Raya mengupayakan suatu Pelatihan, Bimbingan Sertifikasi dan Pemantapan Spiritualitas bagi tenaga kependidikan di lingkungannya. Inilah yang diselenggarakan pada tanggal 31 Januari 2008 hingga 3 Februari 2008 di Palangka Raya.

Tujuannya adalah selain membina tenaga pendidika dari segi kompetensi sehingga memiliki kualifikasi dan sertifikat profesi, juga memantapkan spiritualitas pendidikan agar berjalan seiring, selaras dan sesuai dengan profesi guru yang telah menjadi pilihan masing-masing. Tanpa spiritualitas yang kuat, pendidikan yang dilaksanakan menjadi sia-sia karena lebih terarah pada pendidikan profesi, bukan pada pendidikan mutu yang menyangkut pribadi secara menyeluruh. Pendidikan mutu yang menyangkut keseluruhan dalam hal ini kami maksudkan adalah pendidikan yang dilaksanakan sebagai proses “hominisasi” dan “humanisasi” sehingga anak didik pun belajar bukan demi nilai tetapi demi hidup.

Untuk mewujudkan pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi inilah sertifikasi bagi tenaga kependidikan dilaksanakan. Tentu saja tujuan bukan terutama untuk mendapatkan sertifikat yang menunjang mendapatkan tunjangan profesi, tetapi harus diperhatikan bahwa tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas pendidik yang akan mendidik dan menghasilkan anak didik yang berkualitas pula.

Masa depan bangsa ini terletak di telapak tangan anak-anak didik sekarang yang akan berjuang di medan politik, diplomasi dan juga dunia pendidikan pada 25 tahun ke depan. Kualitas pendidikan saat ini sungguh menentukan bagaimana masa depan bangsa ini. (adm).


Artikel 5
Judul:Tahun 2009, Disdik Medan Fokus Tingkatkan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan, Drs Hasan Basri MM menyatakan program kerja tahun 2009, Dinas Pendidikan Kota Medan memfokuskan pada peningkatan mutu pendidik dan tenaga pengajar dengan bekerjasama Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi guru yang tidak lulus sertifikasi portofolio.

“Kita sudah ketemu Dirjen Tenaga Pendidikan di Jakarta dan segera melakukan diklat. Makanya, guru-guru yang tidak lulus sertifikasi portopolio atau yang belum tapi memenuhi syarat bisa mengikuti diklat,” ujar Hasan Basri ketika dihubungi melalui telepon selularnya, Senin (9/2).

Dijelaskannya, guru yang memenuhi syarat yakni guru yang usianya lebih 50 tahun dan memiliki pangkat IVA atau meskipun tidak S1 tapi berpengalaman pengajar lebih 20 tahun. “Mereka juga berhak mengikuti Diklat karena jika disuruh melanjutan pendidikan dikhawatirkan tidak terkejar dan ini sudah diatur undang-undang,”katanya.

Hasan mengimbau bagi guru-guru yang telah lulus sertifikasi berhak mendapat tunjangan fungsional. Di Medan, ada 1600 lebih yang lulus, 140 di antaranya guru swasta. Untuk anggaran diklat, kata Hasan, masih diusulkan ke APBD dan tinggal menunggu persetujuan panitia anggaran.

Pengawas

Fokus lain di bidang tenaga kependidikan yakni pengawas sekolah, Dinas Pendidikan Kota Medan akan meningkatkan mutu mereka dengan mengikutsertakan pada rapat kerja workshop. Selain itu juga tutor di pendidikan Non Formal. “Bagi tutor peningkatan mutu diberikan pelatihan khususnya 100 orang bekerjasama dengan PKK,”ujarnya.

Hasan Basri menambahkan, kompetensi dan kesejahteraan guru harus bersamaan. Tahun 2009, Dinas Pendidikan mengalokasikan dana mencapai Rp30 miliar di luar gaji untuk PNS dan tunjuangan pemerintah pusat sebesar Rp600 ribu per tahun. Sedangkan terkait sarana dan prasana, pihaknya mengalokasikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) pada APBD 2009 dengan nilai Rp38 miliar – Rp39 miliar yang mana dana tersebut termasuk untuk pengadaan mobiler sekolah, pengadaan halaman dan sanitasi.

“Kita berharap tahun 2010 fasilitas utama sekolah sudah terpenuhi semua, saat ini baru di tingkat SMA yang terpenuhi, sedangkan di tingkat Sekolah Dasar belum standard,” ujarnya.
Hasan juga mengakui ketika turun ke lapangan masih banyak sekolah belum tersentuh anggaran. Untuk itu, fasilitas tambahan perpustakaan dan laboratorium hendaknya juga dimasukkan dalam anggaran belanja sekolah karena peran serta masyarakat memajukan pendidikan juga harus ada

EVALUASI PEMBELAJARAN

Artikel 1
Judul:Inovasi Model dan Evaluasi Pembelajaran

Pengajar, desain pembelajaran, dan peserta didik adalah 3 (tiga) hal yang selalu disebut saat kita ingin berbicara tentang proses pembelajaran. Mengapa demikian ? karena sesungguhnya 3 (tiga) hal tersebutlah yang menjadi motor dalam pergerakan sebuah roda pembelajaran.

Pengajar disini dapat diartikan secara luas, apalagi dalam era internetisasi saat ini. Salah satu dampak yang ditimbulkannya pada dunia pendidikan adalah munculnya metode-metode pembelajaran secara elektronik (elearning atau online learning). Hal tersebut akhirnya berimbas pada cara guru dalam menyampaikan atau membahasakan materi di kelas, dari yang sebelumnya bertutur atau lisan menjadi tulisan. Namun demikian, peran guru atau pengajar di kelas tidak dapat tergantikan karena tidak semua peserta didik mampu belajar dan memahami materi secara mandiri. Untuk mengatasinya adalah dengan cara memblend antara metode klasikal dan elektronik (adanya hybrid instruction).

Menurut Gagne, Briggs, & Wager (dalam Prawiradilaga, 2007) desain pembelajaran membantu proses belajar seseorang, dimana proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera dan jangka panjang. Mereka percaya proses belajar terjadi karena adanya kondisi-kondisi belajar, internal maupun eksternal. Tapi menurut Kemp, Morrison, & Ross (dalam Prawiradilaga, 2007) esensi disain pembelajaran mengacu pada keempat komponen inti, yaitu siswa, tujuan pembelajaran, metode, dan penilaian.

Peserta didik adalah semua individu yang menjadi audiens dalam suatu lingkup pembelajaran. Biasanya penyebutan peserta didik ini mengikuti skup/ruang lingkup dimana pembelajaran dilaksanakan, diantaranya : siswa untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, mahasiswa untuk jenjang pendidikan tinggi, dan peserta pelatihan untuk diklat.

Peserta didik adalah masukan mentah (raw input) dalam sebuah proses pembelajaran yang harus dithreat agar output dan outcomesnya sesuai dengan yang dicanangkan institusi (khususnya) dan dunia pendidikan Indonesia pada umumnya. Agar keluarannya dapat beradaptasi dengan kemajuan zaman, maka sudah sepatutnya materi dan cara pembelajarannyapun disesuaikan dengan dunia nyata juga. Hal tersebut biasa dikenal dengan model pembelajaran inovatif.

Penilaianpun juga sudah melakukan terobosan atau inovasi. Terbukti, saat ini paper and pen bukanlah satu-satunya cara untuk menilai keberhasilan belajar peserta didik. Asesmen portofolio, autentik, dan lain-lain adalah sedikit dari banyak inovasi cara menilai keberhasilan peserta didik yang lebih menitikberatkan pada proses

Artikel 2
Judul:Try Out untuk Evaluasi Pembelajaran

KUPANG, PK -- Hasil try out ujian sekolah berstandar nasional (USBN) yang diikuti para siswa sekolah dasar (SD) di Kota Kupang akan digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap kompetensi dasar pembelajaran para siswa. Para siswa yang belum mencapai kompetensi dan persentase kelulusan akan dibimbing lebih intensif oleh masing-masing guru mata pelajaran.

Hal ini disampaikan Ketua Bidang Peningkatan Mutu Musyawarah Kelompok Kerja Kepala Sekolah (MKKKS) SD Kota Kupang, Ismael Non, S.Pd, kepada Pos Kupang di SD Negeri Oetete I, Kota Kupang, Kamis (12/2/2009).

Menurut Non, try out ini diselenggarakan MKKKS SD se-Kota Kupang bekerja sama dengan Forum Ilmiah Guru (Figur), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Yayasan Swastisari Kupang.

Non yang juga kepala SD Negeri Oetete I mengatakan, hasil try out (uji coba) akan dipakai untuk melihat sejauh mana kesiapan siswa menghadapi USBN 2009. Hasilnya juga akan dipakai untuk memprediksi persentase kelulusan siswa SD se-Kota Kupang pada saat USBN tanggal 11-13 Mei 2009 nanti.

Dijelaskannya, para siswa di sekolahnya sudah disiapkan sejak bulan Oktober 2008 dengan memberikan pelajaran tambahan. Pelajaran tambahan ini sudah disepakati oleh orangtua/wali dan komite sekolah dalam rapat bersama.

Menurutnya, para orangtua dan komite sekolah sangat mendukung les tambahan untuk mendongkrak mutu pendidikan SD di Kota Kupang.

Dikatakannya, try out ini dilakukan di sekolah masing-masing secara serempak di 122 SD se-Kota Kupang. Sedangkan pos koordinasi try out di SDK St. Yoseph 3 Naikoten Kupang. Dia juga mengatakan, pemeriksaan soal akan dilakukan dalam kerja sama dengan Yayasan Swastisari Kupang untuk menjaga kemurnian hasil try out.

Dijelaskannya, siswa kelas VI yang mengikuti USBN di SD Negeri Oetete I sebanyak 47 orang yang terbagi dalam dua rombongan. Dia berharap keberhasilan USBN tahun sebelumnya bisa ditorehkan lagi saat ini.

"Saya harap USBN kali ini bisa mencapai 100 persen, karena sebagai guru kami telah melakukan berbagai kegiatan untuk mempersiapkan mereka menghadapi ujian," katanya.

Pantauan Pos Kupang di SD Negeri Oetete I Kupang, para siswa yang mengikuti try out sibuk mengerjakan soal-soal ujian Bahasa Indonesia dan IPA pada lembar jawaban komputer (LJK).

Beberapa siswa terlihat membolak-balikkan lembaran soal dan sesekali melap keringat. Setiap siswa menempati satu meja. Setiap ruangan try out diawasi oleh dua orang guru. (*)
Artikel 3
Judul:Konsep Dasar Evaluasi Hasil Belajar
Pengertian Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi
Wiersma dan Jurs membedakan antara evaluasi, pengukuran dan testing. Mereka berpendapat bahwa evaluasi adalah suatu proses yang mencakup pengukuran dan mungkin juga testing, yang juga berisi pengambilan keputusan tentang nilai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Arikunto yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Kedua pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas daripada pengukuran dan testing.
Ralph W. Tyler, yang dikutif oleh Brinkerhoff dkk. Mendefinisikan evaluasi sedikit berbeda. Ia menyatakan bahwa evaluation as the process of determining to what extent the educational objectives are actually being realized. Sementara Daniel Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Nana Syaodih S., menyatakan bahwa evaluation is the process of delinating, obtaining and providing useful information for judging decision alternatif. Demikian juga dengan Michael Scriven (1969) menyatakan evaluation is an observed value compared to some standard. Beberapa definisi terakhir ini menyoroti evaluasi sebagai sarana untuk mendapatkan informasi yang diperoleh dari proses pengumpulan dan pengolahan data.
Sementara itu Asmawi Zainul dan Noehi Nasution mengartikan pengukuran sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas, sedangkan penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun nontes. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Suharsimi Arikunto yang membedakan antara pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Arikunto menyatakan bahwa mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif. Hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif juga dikemukakan oleh Norman E. Gronlund (1971) yang menyatakan “Measurement is limited to quantitative descriptions of pupil behavior”
Pengertian penilaian yang ditekankan pada penentuan nilai suatu obyek juga dikemukakan oleh Nana Sudjana. Ia menyatakan bahwa penilaian adalah proses menentukan nilai suatu obyek dengan menggunakan ukuran atau kriteria tertentu, seperti Baik , Sedang, Jelek. Seperti juga halnya yang dikemukakan oleh Richard H. Lindeman (1967) “The assignment of one or a set of numbers to each of a set of person or objects according to certain established rules”
B. Tujuan Evaluasi
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu bahwa evaluasi dilaksanakan dengan berbagai tujuan. Khusus terkait dengan pembelajaran, evaluasi dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mendeskripsikan kemampuan belajar siswa.
2. mengetahui tingkat keberhasilan PBM
3. menentukan tindak lanjut hasil penilaian
4. memberikan pertanggung jawaban (accountability)
C. Fungsi Evaluasi
Sejalan dengan tujuan evaluasi di atas, evaluasi yang dilakukan juga memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah fungsi:
1. Selektif
2. Diagnostik
3. Penempatan
4. Pengukur keberhasilan
Selain keempat fungsi di atas Asmawi Zainul dan Noehi Nasution menyatakan masih ada fungsi-fungsi lain dari evaluasi pembelajaran, yaitu fungsi:
1. Remedial
2. Umpan balik
3. Memotivasi dan membimbing anak
4. Perbaikan kurikulum dan program pendidikan
5. Pengembangan ilmu
D. Manfaat Evaluasi
Secara umum manfaat yang dapat diambil dari kegiatan evaluasi dalam pembelajaran, yaitu :
1. Memahami sesuatu : mahasiswa (entry behavior, motivasi, dll), sarana dan prasarana, dan kondisi dosen
2. Membuat keputusan : kelanjutan program, penanganan “masalah”, dll
3. Meningkatkan kualitas PBM : komponen-komponen PBM
Sementara secara lebih khusus evaluasi akan memberi manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan pembelajaran, seperti siswa, guru, dan kepala sekolah.
Bagi Siswa
Mengetahui tingkat pencapaian tujuan pembelajaran : Memuaskan atau tidak memuaskan
Bagi Guru
1. mendeteksi siswa yang telah dan belum menguasai tujuan : melanjutkan, remedial atau pengayaan
2. ketepatan materi yang diberikan : jenis, lingkup, tingkat kesulitan, dll.
3. ketepatan metode yang digunakan
Bagi Sekolah
1. hasil belajar cermin kualitas sekolah
2. membuat program sekolah
3. pemenuhan standar
E. Macam-macam Evaluasi
1. Formatif
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan / topik, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah suatu proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang direncanakan. Winkel menyatakan bahwa yang dimaksud dengan evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama proses pembelajaran yang masih berlangsung, agar siswa dan guru memperoleh informasi (feedback) mengenai kemajuan yang telah dicapai. Sementara Tesmer menyatakan formative evaluation is a judgement of the strengths and weakness of instruction in its developing stages, for purpose of revising the instruction to improve its effectiveness and appeal. Evaluasi ini dimaksudkan untuk mengontrol sampai seberapa jauh siswa telah menguasai materi yang diajarkan pada pokok bahasan tersebut. Wiersma menyatakan formative testing is done to monitor student progress over period of time. Ukuran keberhasilan atau kemajuan siswa dalam evaluasi ini adalah penguasaan kemampuan yang telah dirumuskan dalam rumusan tujuan (TIK) yang telah ditetapkan sebelumnya. TIK yang akan dicapai pada setiap pembahasan suatu pokok bahasan, dirumuskan dengan mengacu pada tingkat kematangan siswa. Artinya TIK dirumuskan dengan memperhatikan kemampuan awal anak dan tingkat kesulitan yang wajar yang diperkiran masih sangat mungkin dijangkau/ dikuasai dengan kemampuan yang dimiliki siswa. Dengan kata lain evaluasi formatif dilaksanakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai. Dari hasil evaluasi ini akan diperoleh gambaran siapa saja yang telah berhasil dan siapa yang dianggap belum berhasil untuk selanjutnya diambil tindakan-tindakan yang tepat. Tindak lanjut dari evaluasi ini adalah bagi para siswa yang belum berhasil maka akan diberikan remedial, yaitu bantuan khusus yang diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan memahami suatu pokok bahasan tertentu. Sementara bagi siswa yang telah berhasil akan melanjutkan pada topik berikutnya, bahkan bagi mereka yang memiliki kemampuan yang lebih akan diberikan pengayaan, yaitu materi tambahan yang sifatnya perluasan dan pendalaman dari topik yang telah dibahas.
2. Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang didalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah dapat berpindah dari suatu unit ke unit berikutnya. Winkel mendefinisikan evaluasi sumatif sebagai penggunaan tes-tes pada akhir suatu periode pengajaran tertentu, yang meliputi beberapa atau semua unit pelajaran yang diajarkan dalam satu semester, bahkan setelah selesai pembahasan suatu bidang studi.
3. Diagnostik
Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada siswa sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan dalam beberapa tahapan, baik pada tahap awal, selama proses, maupun akhir pembelajaran. Pada tahap awal dilakukan terhadap calon siswa sebagai input. Dalam hal ini evaluasi diagnostik dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal atau pengetahuan prasyarat yang harus dikuasai oleh siswa. Pada tahap proses evaluasi ini diperlukan untuk mengetahui bahan-bahan pelajaran mana yang masih belum dikuasai dengan baik, sehingga guru dapat memberi bantuan secara dini agar siswa tidak tertinggal terlalu jauh. Sementara pada tahap akhir evaluasi diagnostik ini untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa atas seluruh materi yang telah dipelajarinya.
Perbandingan Tes Diagnostik, Tes Formatif, dan Tes Sumatif
Ditinjau dari Tes Diagnostik Tes Formatif Tes Sumatif
Fungsinya mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuannya
menentukan kesulitan belajar yang dialami Umpan balik bagi siswa, guru maupun program untuk menilai pelaksanaan suatu unit program Memberi tanda telah mengikuti suatu program, dan menentukan posisi kemampuan siswa dibandingkan dengan anggota kelompoknya
cara memilih tujuan yang dievaluasi memilih tiap-tiap keterampilan prasarat
memilih tujuan setiap program pembelajaran secara berimbang
memilih yang berhubungan dengan tingkah laku fisik, mental dan perasaan Mengukur semua tujuan instruksional khusus Mengukur tujuan instruksional umum


Artikel 4
Judul:Evaluasi Pembelajaran Yang Membelajarkan

Evaluasi merupakan kegiatan pengumpulan kenyataan mengenai proses pembelajaran secara sistematis untuk menetapkan apakah terjadi perubahan terhadap peserta didik dan sejauh apakah perubahan tersebut mempengaruhi kehidupan peserta didik. (dikutip dari Bloom et.all 1971).

Stufflebeam et.al 1971 mengatakan bahwa evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.

Evaluasi sendiri memiliki beberapa prinsip dasar yaitu ;

1. Evaluasi bertujuan membantu pemerintah dalam mencapai tujuan pembeljaran bagi masyrakat.

2. Evaluasi adalah seni, tidak ada evaluasi yang sempurna, meski dilkukan dengan metode yang berbeda.

3. Pelaku evaluasi atau evaluator tidak memberikan jawaban atas suatu pertanyaan tertentu. Evaluator tidak berwennag untuk memberikan rekomendasi terhadap keberlangsungan sebuah program. Evaluator hanya membantu memberikan alternatif.

4. Penelitian evaluasi adalah tanggung jawab tim bukan perorangan.

5. Evaluator tidak terikat pada satu sekolah demikian pula sebaliknya.

6. evaluasi adalah proses, jika diperlukan revisi maka lakukanlah revisi.

7. Evaluasi memerlukan data yang akurat dan cukup, hingga perlu pengalaman untuk pendalaman metode penggalian informasi.

8. Evaluasi akan mntap apabila dilkukan dengan instrumen dan teknik yang aplicable.

9. Evaluator hendaknya mampu membedakan yang dimaksud dengan evaluasi formatif, evaluasi sumatif dan evaluasi program.
10. Evaluasi memberikan gambaran deskriptif yang jelas mengenai hubungan sebab akibat, bukan terpaku pada angka soalan tes.

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa sesungguhnya evaluasi adalah proses mengukur dan menilai terhadap suatu objek dengan menampilkan hubungan sebab akibat diantara faktor yang mempengaruhi objek tersebut.

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat dan mengetahui proses yang terjadi dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran memiliki 3 hal penting yaitu, input, transformasi dan output. Input adalah peserta didik yang telah dinilai kemampuannya dan siap menjalani proses pembelajaran.

Transformasi adalah segala unsur yang terkait dengan proses pembelajaran yaitu ; guru, media dan bahan beljar, metode pengajaran, sarana penunjang dan sistem administrasi. Sedangkan output adalah capaian yang dihasilkan dari proses pembelajaran.

Evaluasi pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu ;
1. Fungsi selektif
2. Fungsi diagnostik
3. Fungsi penempatan
4. Fungsi keberhasilan

Maksud dari dilakukannya evaluasi adalah ;
1. Perbaikan sistem
2. Pertanggungjawaban kepada pemerintah dan masyarakat
3. Penentuan tindak lanjut pengembangan

PRINSIP PRINSIP EVALUASI

1. Keterpaduan

2. evauasi harus dilakukan dengan prinsip keterpaduan antara tujuan intrusional pengajaran, materi pembelajaran dan metode pengjaran.

3. Keterlibatan peserta didik

4. prinsip ini merupakan suatu hal yang mutlak, karena keterlibatan peserta didik dalam evaluasi bukan alternatif, tapi kebutuhan mutlak.

5. Koherensi

6. evaluasi harus berkaitan dengan materi pengajaran yang telah dipelajari dan sesuai dengan ranah kemampuan peserta didik yang hendak diukur.

7. Pedagogis

8. Perlu adanya tool penilai dari aspek pedagogis untuk melihat perubahan sikap dan perilaku sehingga pada akhirnya hasil evaluasi mampu menjadi motivator bagi diri siswa.

9. Akuntabel

10. Hasil evaluasi haruslah menjadi aalat akuntabilitas atau bahan pertnggungjawaban bagi pihak yang berkepentingan seeprti orangtua siswa, sekolah, dan lainnya.

TEKNIK EVALUASI

Teknik evaluasi digolongkan menjadi 2 yaitu teknik tes dan teknik non Tes.

1. Teknik non tes meliputi ; skala bertingkat, kuesioner,daftar cocok, wawancara, pengamatan, riwayat hidup.

a. Rating scale atau skala bertingkat menggambarkan suatu nilai dalam bentuk angka. Angka-angak diberikan secara bertingkat dari anggak terendah hingga angkat paling tinggi. Angka-angka tersebut kemudian dapat dipergunakan untuk melakukan perbandingan terhadap angka yang lain.

b. Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang terbagi dalam beberapa kategori. Dari segi yang memberikan jawaban, kuesioner dibagi menjadi kuesioner langsung dan kuesioner tidak langsung. Kuesioner langsung adalah kuesioner yang dijawab langsung oleh orang yang diminta jawabannya. Sedangkan kuesiioner tidak langsung dijawab oleh secara tidak langsung oleh orang yang dekat dan mengetahui si penjawab seperti contoh, apabila yang hendak dimintai jawaban adalah seseorang yang buta huruf maka dapat dibantu oleh anak, tetangga atau anggota keluarganya. Dan bila ditinjau dari segi cara menjawab maka kuesioner terbagi menjadi kuesioner tertutup dan kuesioner terbuka. Kuesioner tertututp adalah daftar pertanyaan yang memiliki dua atau lebih jawaban dan si penjawab hanya memberikan tanda silang (X) atau cek (√) pada awaban yang ia anggap sesuai. Sedangkan kuesioner terbuka adalah daftar pertanyaan dimana si penjawab diperkenankan memberikan jawaban dan pendapat nya secara terperinci sesuai dengan apa yang ia ketahui.

c. Daftar cocok adalah sebuah daftar yang berisikan pernyataan beserta dengan kolom pilihan jawaban. Si penjawab diminta untuk memberikan tanda silang (X) atau cek (√) pada awaban yang ia anggap sesuai.

d. Wawancara, suatu cara yang dilakukan secara lisan yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan tujuan informsi yang hendak digali. wawancara dibagi dalam 2 kategori, yaitu pertama, wawancara bebas yaitu si penjawab (responden) diperkenankan untuk memberikan jawaban secara bebas sesuai dengan yang ia diketahui tanpa diberikan batasan oleh pewawancara. Kedua adalah wawancara terpimpin dimana pewawancara telah menyusun pertanyaan pertanyaan terlebih dahulu yang bertujuan untuk menggiring penjawab pada informsi-informasi yang diperlukan saja.

e. Pengamatan atau observasi, adalah suatu teknik yang dilakuakn dengan mengamati dan mencatat secara sistematik apa yang tampak dan terlihat sebenarnya. Pengamatan atau observasi terdiri dari 3 macam yaitu : (1) observasi partisipan yaitu pengamat terlibat dalam kegiatan kelompok yang diamati. (2) Observasi sistematik, pengamat tidak terlibat dalam kelompok yang diamati. Pengamat telah membuat list faktor faktor yang telah diprediksi sebagai memberikan pengaruh terhadap sistem yang terdapat dalam obejek pengamatan.

f. Riwayat hidup, evaluasi ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi mengenai objek evaluasi sepanjang riwayat hidup objek evaluasi tersebut.

2. Teknik tes. Dalam evaluasi pendidikan terdapat 3 macam tes yaitu :

a. tes diagnostik

b. tes formatif

c. tes sumatif

PROSEDUR MELAKSANAKAN EVALUASI

Dalam melaksanakan evaluasi pendidikan hendaknya dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa evaluasi pendidikan secara garis besar melibatkan 3 unsur yaitu input, proses dan out put. Apabila prosesdur yang dilakukan tidak bercermin pada 3 unsur tersebut maka dikhawatirkan hasil yang digambarkan oleh hasil evaluasi tidak mampu menggambarkan gambaran yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembelajaran. Langkah-langkah dalam melaksanakan kegiatan evaluasi pendidikan secara umum adalah sebagai berikut :

a. perencanaan (mengapa perlu evaluasi, apa saja yang hendak dievaluasi, tujuan evaluasi, teknikapa yang hendak dipakai, siapa yang hendak dievaluasi, kapan, dimana, penyusunan instrument, indikator, data apa saja yang hendak digali, dsb)

b. pengumpulan data ( tes, observasi, kuesioner, dan sebagainya sesuai dengan tujuan)

c. verifiksi data (uji instrument, uji validitas, uji reliabilitas, dsb)

d. pengolahan data ( memaknai data yang terkumpul, kualitatif atau kuantitatif, apakah hendak di olah dengan statistikatau non statistik, apakah dengan parametrik atau non parametrik, apakah dengan manual atau dengan software (misal : SAS, SPSS )

e. penafsiran data, ( ditafsirkan melalui berbagai teknik uji, diakhiri dengan uji hipotesis ditolak atau diterima, jika ditolak mengapa? Jika diterima mengapa? Berapa taraf signifikannya?) interpretasikan data tersebut secara berkesinambungan dengan tujuan evaluasi sehingga akan tampak hubungan sebab akibat. Apabila hubungan sebab akibat tersebut muncul maka akan lahir alternatif yang ditimbulkan oleh evaluasi itu


Artikel 5
Judul:UAN Dalam Perspektif Desentralisasi Pendidikan
Ketika UU No. 22/1999 dan No. 25/1999 diberlakukan dan disusul dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional tentang sistem manajemen berbasis sekolah dan pemberian kewenangan terhadap daerah (bahkan sekolah) dalam mengelola pendidikan, timbul secercah harapan akan semakin membaiknya pembangunan pendidikan. Model pembangunan pendidikan yang sangat bersifat sentralistik dan monolitik serta menafikan perbedaan, secara drastis mestinya berubah menjadi desentralistik dan pluralistik sehingga kepentingan dan kebutuhan serta potensi dan kemampuan daerah menjadi lebih terperhatikan dan terbangkitkan. Dengan desentralisasi pendidikan yang direpresentasikan melalui model pengelolaan Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Masyarakat, segenap komponen sekolah menjadi semakin berperan. Penyusunan kurikulum nasional yang mengabaikan akar budaya dan kebutuhan masyarakat setempat, dengan pemberian kewenangan besar kepada daerah, mestinya tidak akan terulang kembali.

Pemberian kewenangan yang besar kepada para guru melalui manajemen berbasis sekolah dan kurikulum berbasis kompetensi pun diasumsikan akan mengembalikan harga diri dan rasa percaya diri pada guru yang di masa lalu sangat terpuruk akibat sistem yang bersifat sangat instruktif. Akan tetapi, melihat kebijakan Depdiknas akhir-akhir ini, harapan yang mulai timbul tampaknya akan layu sebelum berkembang. Salah satu contoh yang paling aktual adalah pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang penuh kontroversial. UAN sebagai alat uji bagi siswa kelas terakhir ALTP dan SMU/SMK dalam kenyataannya tidak lain merupakan manifestasi keengganan pusat melepaskan kewenangannya dalam pengelolaan pendidikan. Celakanya, keengganan tersebut tidak dibarengi dengan kesiapan yang cukup sehingga muncullah kebijakan kontroversial yang sangat membingungkan menyangkut hal-hal seperti soal ujian ulang dan hak siswa tak lulus ujian untuk melanjutkan pendidikan.

Berbeda dengan ujian, evaluasi bermakna penilaian secara terus-menerus, komprehensif, dan berkelanjutan terhadap kemampuan siswa selama belajar di sekolah dan merupakan bagian integral dari proses pembelajaran di sekolah. Dalam kerangka kurikulum berbasis kompetensi, Depdiknas sendiri menggariskan bahwa penilaian berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan. Penilaian berkelanjutan mengacu kepada penilaian yang dilaksanakan oleh guru itu sendiri dengan proses penilaian yang dilakukan secara transparan. Penilaian dilakukan secara komprehensif dan mencakup aspek kompetensi akademik dan keterampilan hidup. Proses perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan penilaian dilaksanakan oleh para guru dengan penanggung jawab Kepala Sekolah sehingga kinerja seluruh komponen sekolah benar-benar dinilai dan kemampuan guru merancang, memilih alat evaluasi, menyusun soal, dan memberi penilaian benar-benar diuji. Dari sisi siswa, evaluasi jelas akan merupakan sebuah proses yang 'biasa' yang tidak memerlukan persiapan khusus yang menyita seluruh energinya karena evaluasi tersebut dijalankan oleh sekolahnya, gurunya, dan yang terpenting bahan evaluasi adalah apa yang telah diperoleh selama proses pembelajaran. UAN yang menempatkan Pusat sebagai otoritas yang berwewenang secara penuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tindak lanjutnya melalui SPO (Standar Prosedur Operasional) yang sangat rinci dan ketat. Dibandingkan dengan EBTANAS yang masih memperhitungkan nilai yang diperoleh siswa pada semester-semester sebelumnya dalam penentuan nilai kelulusan, model UAN sekarang menempatkan nilai UAN murni sebagai satu-satunya nilai penentu kelulusan siswa. Padahal, semasa EBTANAS diberlakukan, segenap komponen pendidikan seolah diburu untuk mengejar pencapaian nilai EBTANAS murni yang tinggi sehingga semua daya dan dana benar-benar terkuras. Dapat dibayangkan apa yang terjadi sekarang dengan evaluasi model UAN. Belum lagi dengan kebijakan-kebijakan yang saling bertentangan perihal pemahaman 'lulus' dan 'tamat' yang diberlakukan Depdiknas hanya karena ketidakmampuannya mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi.

Sungguh mengherankan UAN yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan prinsip evaluasi dibebani tujuan dan fungsi yang sangat penting SK 017/U/2003 menyebutkan tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa; mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/madrasah; dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, sekolah/madrasah, kepada masyarakat. Kemudian, UAN berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional; pendorong peningkatan mutu pendidikan; bahan dalam menentukan kelulusan siswa; dan bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tujuan dan fungsi tersebut tidak berbeda jauh dengan fungsi EBTANAS dulu, tujuan dan fungsi yang tampaknya tidak pernah dievaluasi, bahkan beberapa sebetulnya tak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu tujuan dan fungsi UAN yang berhubungan dengan mutu, misalnya. Sejauh ma na hasil UAN (sebelumnya selama bertahun-tahun hasil EBTANAS) digunakan sebagai pendorong peningkatan mutu. Selama ini hasil EBTANAS sampai dengan UAN dari tahun ke tahun tidak pernah meningkat secara signifikan. Kegunaan hasil UAN sebagai pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi pun nyatanya tidak pernah terlaksana. Lulusan SLTP tetap harus mengikuti tes masuk SLTA dan lulusan SLTA pun tetap harus mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi.

Ditinjau dari pemberdayaan guru dan siswa, UAN sama sekali tidak berguna. Otoritas guru untuk merencanakan, menyusun, dan memberikan penilaian kepada siswa-siswanya sebagai bagian integral dari tugasnya telah direbut. Seperti di masa-masa lalu guru tetap tidak dipercaya mampu melakukan tugasnya dengan baik. UAN lalu menjadi semacam pusat perhatian dalam proses pembelajaran. Dan, seperti juga EBTANAS di masa lalu, seluruh proses pembelajaran dipusatkan kepada upaya untuk sukses dalam UAN sehingga hakikat proses pembelajaran menjadi terabaikan. Mestinya UAN yang jelas-jelas bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip desentralisasi pendidikan dan menghabiskan dana yang lumayan besar mulai tahun depan dihapus saja. Biarkan sekolah mengevaluasi sendiri hasil kerjanya. Kalau Pemerintah ingin melakukan kontrol terhadap kualitas pendidikan dapat saja setiap tahun terhadap siswa-siswa setiap kelas di semua jenjang pendidikan diberikan semacam tes standar dengan pemilihan sekolah peserta tes diambil dengan cara random sample di tiap daerah yang dianggap dapat mewakili rata-rata nasional. Tes standar semacam ini selain untuk mengetahui kualitas pendidikan juga dapat dijadikan semacam tes diagnostik